MANG MAT KEPENGEN MENUNAIKAN IBADAH HAJI
Oleh : Masatif Ali Zainal
Sejak pensiun sekitar empat tahun ini, keinginan Mang Mat untuk
menunaikan ibadah haji makin menguat saja. Apalagi kalau melihat sahabat dan
tetangga setiap tahun, selalu saja ada yang pergi haji bersama isteri lagi.
Cuma apa daya, sementara ini keinginannya itu masih sebatas cita-cita.
Maklumlah, sebagai pensiunan, sulit menabung untuk ongkos perjalanan ketanah
suci tersebut. Apalagi maunya pergi haji bersama isteri, tentu biayanya dobel. Dari mana ongkosnya, fikirnya dalam hati
sedikit pesimis.
Yang penting pasanglah niat dan teruslah berdoa, begitu nasihat yang
sering didengarnya, baik dalam ceramah agama yang disampaikan ustadz atau
kiyai, maupun dalam acara selamatan tiap kali mengantar sahabat yang akan pergi
haji. Haji itu panggilan Allah. Haji itu pada hakekatnya undangan langsung dari
Allah, katanya. Dan kalau Allah swt yang
memanggil, kalau Allah yang mengundang, dan kita akan menjadi tamu-Nya, maka
akan terbukalah jalan untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Dalam Al-Qur’an Allah swt telah berfirman : “Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, berkenderaan unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan
atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa (daging) binatang
ternak. Maka makanlah sebagian dari
padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk
dimakan orang-orang sengsara lagi fakir”. ( QS Al-Hajj : 27-28 ) .
”Saya dulu waktu masih muda, menangis tersedu, mengadu kepada Allah dikesempatan sholat malam, memohon kepada
Allah supaya dapat berhaji seperti para kiyai yang lebih senior....”, demikian
cerita seorang kiyai tua pada saat syukuran sahabatnya musim haji tahun kemarin.
Dengan izin allah... tahu-tahu doa
tersebut dimakbulkann-Nya..... ada yang datang membantu...jadilah beliau
menunaikan haji, kenang sang kiyai itu memotivasi Mang Mat dkk yang belum
haji. Beliau memberikan ucapan selamat
kepada shohibul hajat, seraya mengatakan sampai jumpa ditanah suci karena beliau juga akan pergi haji lagi.
Pada kesempatan lain, seorang da’i muda bercerita hal yang sama. Memohon
berkepanjangan dalam kesempatan qiyamul lail, memohon kepadanya supaya dapat
berhaji. Lalu, datang saja pertolongan
Allah yang menggerakkan seseorang berbaik hati membantunya. Jadilah dia bertitel haji sekarang, begitu
kira-kira yang diungkapkannya di Masjid sekali waktu. Cerita tadi menambah semangat yang mendengar,
siapa tahu undangan Allah untuk menjadi tamu-Nya datang. Apalagi mendengar kisah, ada seorang pesuruh
kantor yang setiap hari menyiapkan minum untuk karyawan, tahu-tahu bisa pergi
haji. Ketika orang bertanya tentang
kesehariannya, menurut kawan-kawannya ternyata dia rutin sholat dhuha....
Ya, begitulah kalau Tuhan sudah berkehendak, ternyata jenis pekerjaan
tidak jadi masalah. Buktinya ada yang
pergi haji, lantaran dibantu biayanya oleh anaknya yang menjadi TKI di luar
negeri. Sahabat Mang Mat yang satu lagi,
yang sama tahun pensiunannya, pada musim haji sebelum kemarin, alhamdulillah
berkesempatan melaksanakan ibadah haji diajak ikut Tim Pembimbing Haji. Tahun
inipun seorang tetangga lagi akan haji. Ya,
karena undangan atau seruan Allah sudah
datang kepada mereka. Sahabat Mang Mat
yang lain, lain lagi. Sahabat ini
mengaku berkesempatan haji gara-gara....... ”nama” !! Ceritanya : atasannya yang berencana berhaji,
tiba-tiba berhalangan untuk ke Mekkah musim haji tahun itu. Ia ingin, jatahnya diberikan saja kepada bawahnnya. dengan syarat penggantinya itu
harus mempunyai nama yang ”ke-arab-araban”. Setelah disodorkan sejumlah nama pegawai,
tertumbuklah mata si-Bos dengan nama ”Abdul Hamid....” melik kawan tadi. Jadilah dia berangkat haji, ya begitulah kalau
undangan Allah sudah datang.
Tapi niat dan keinginan yang kuat saja belumlah cukup Mang !! Harus
disertai usaha (ikhtiar) yang sungguh sungguh juga. Kita ini pada dasarnya sudah diundang, sudah
dipanggil, sudah diseru Allah untuk pergi haji ke Baitullah itu. Kita saja,
yang karena kepicikan tidak mampu merespon, demikian yang dapat ditangkap dari
nasihat yang lain, sehingga belum juga
menunaikan ibadah yang wajib sekali seumur hidup itu. Apalagi sebagai
pensiunan rasanya sulit, kata seorang Bapak – orang tua dari tetangga baru Mang
Mat - beberapa bulan lalu. ”Maka itu
harus usaha, Pak ..... cari biayanya.... ya kalau tidak ada jual saja rumah
tempat tinggal bapak ini.... kan kalau dijual, bisa untuk ongkos perjalanan
haji suami isteri, Pak !!” begitu inti sarannya seolah ”mengompori”. Dia bercerita sudah berulang kali menunaikan
ibadah haji, seraya mengajak bergabung di KBIH nya kalau mau berangkat haji.
Mang Mat
fikir, betul juga nasihat Bapak yang juga pensiun itu. Jual rumah, dapat uang,
lalu bisa menunaikan ibadah haji. Nasihat yang cespleng fikirnya sependapat. Tapi ujung nasihatnya yang membuat Mang Mat
masih berfikir-fikir.....”Kalau sudah haji... soal nanti mau tinggal dimana ya
numpang saja dirumah anak....”. Nah, ini, menjual rumah, lalu menumpang dan lalu menyusahkan anak mantu, hal ini yang
Mang Mat belum dapat membayangkannya. Ujung-ujungnya
belum juga tahun ini berkesempatan haji. Ataukah Mang Mat ini, masih termasuk
golongan yang belum mampu berhaji, sehingga
memang belum wajib berhaji ?
Beliau pun lalu ingat dengan ceramah seorang da’i pada acara selamatan
haji seorang kawan yang tinggal tiga rumah disebelah sekitar tiga tahun lalu. Penceramah
bercerita tentang fadilah haji itu, terus terang mengaku dia sendiri belum
bertitel Haji. Alias belum sama
sekali berkesempatan haji, karena merasa belum mampu secara finansial untuk
mengongkosi perjalananan ketanah suci. Intinya,
bagi beliau lebih afdol kalau menunaikan haji dengan kemampuan ongkos usaha
sendiri. Benar pula, ya ?
Mang Mat tidak tahu apa bapak penceramah tadi, waktu itu sudah mempunyai
rumah sendiri atau masih kontrakan. Tapi
yang jelas dia belum berhaji waktu itu, karena belum mampu membiayai sendiri,
sehingga belum berhaji. Mang Mat pun
berfikir kondisi keluarganya saat ini mungkin sama seperti itu, alias belum
berkemampuan untuk berhaji dengan biaya sendiri.
Namun apapun ceritanya, seperti Bapak Penceramah yang belum haji itu,
terus saja dia berdoa dan berharap, mudah-mudahan Allah yang Maha Rahman dan Rahim
memberi jalan dan kemudahan di tahun tahun depan. Insyaallah... Mungkin tahun ini belum fikir Mang Mat.
Apalagi menyadari ibadah wajib harian saja masih saja banyak kurang, apalagi
kalau sholat tahajjud atau dhuha dll, istilahnya masih bisa dihitung dengan
jari tangan. Mudah-mudahan nanti Allah SWT mengundang, Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kesempatan untuk memenuhi undangan-Nya
itu walaupun istilahnya dengan
”berjalan kaki atau menunggang unta yang kurus” sekalipun, tidak mengapa. Semoga saja... amiiin ya Allah.
(maz. 8/8/2007)