Rabu, 04 Desember 2013

CERITA MANG MAT

MANG MAT KEPENGEN MENUNAIKAN IBADAH HAJI

Oleh : Masatif Ali Zainal

     Sejak pensiun sekitar empat tahun ini, keinginan Mang Mat untuk menunaikan ibadah haji makin menguat saja. Apalagi kalau melihat sahabat dan tetangga setiap tahun, selalu saja ada yang pergi haji bersama isteri lagi. Cuma apa daya, sementara ini keinginannya itu masih sebatas cita-cita. Maklumlah, sebagai pensiunan, sulit menabung untuk ongkos perjalanan ketanah suci tersebut. Apalagi maunya pergi haji bersama isteri, tentu biayanya dobel.  Dari mana ongkosnya, fikirnya dalam hati sedikit pesimis.

     Yang penting pasanglah niat dan teruslah berdoa, begitu nasihat yang sering didengarnya, baik dalam ceramah agama yang disampaikan ustadz atau kiyai, maupun dalam acara selamatan tiap kali mengantar sahabat yang akan pergi haji. Haji itu panggilan Allah. Haji itu pada hakekatnya undangan langsung dari Allah, katanya.  Dan kalau Allah swt yang memanggil, kalau Allah yang mengundang, dan kita akan menjadi tamu-Nya, maka akan terbukalah jalan untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu.

     Dalam Al-Qur’an Allah swt telah berfirman  : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, berkenderaan unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa (daging) binatang ternak.  Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk  dimakan orang-orang sengsara lagi fakir”.     ( QS Al-Hajj : 27-28 ) .

     ”Saya dulu waktu masih muda, menangis tersedu, mengadu kepada Allah  dikesempatan sholat malam, memohon kepada Allah supaya dapat berhaji seperti para kiyai yang lebih senior....”, demikian cerita seorang kiyai tua pada saat syukuran sahabatnya musim haji tahun kemarin.  Dengan izin allah... tahu-tahu doa tersebut dimakbulkann-Nya..... ada yang datang membantu...jadilah beliau menunaikan haji, kenang sang kiyai itu memotivasi Mang Mat dkk yang belum haji.  Beliau memberikan ucapan selamat kepada shohibul hajat, seraya mengatakan sampai jumpa ditanah suci karena  beliau juga akan pergi haji lagi.

     Pada kesempatan lain, seorang da’i muda bercerita hal yang sama. Memohon berkepanjangan dalam kesempatan qiyamul lail, memohon kepadanya supaya dapat berhaji.  Lalu, datang saja pertolongan Allah yang menggerakkan seseorang berbaik hati membantunya.  Jadilah dia bertitel haji sekarang, begitu kira-kira yang diungkapkannya di Masjid sekali waktu.  Cerita tadi menambah semangat yang mendengar, siapa tahu undangan Allah untuk menjadi tamu-Nya datang.  Apalagi mendengar kisah, ada seorang pesuruh kantor yang setiap hari menyiapkan minum untuk karyawan, tahu-tahu bisa pergi haji.  Ketika orang bertanya tentang kesehariannya, menurut kawan-kawannya ternyata dia rutin sholat dhuha....

    Ya, begitulah kalau Tuhan sudah berkehendak, ternyata jenis pekerjaan tidak jadi masalah.  Buktinya ada yang pergi haji, lantaran dibantu biayanya oleh anaknya yang menjadi TKI di luar negeri.  Sahabat Mang Mat yang satu lagi, yang sama tahun pensiunannya, pada musim haji sebelum kemarin, alhamdulillah berkesempatan melaksanakan ibadah haji diajak ikut Tim Pembimbing Haji. Tahun inipun seorang tetangga lagi akan haji.  Ya, karena undangan atau seruan Allah  sudah datang kepada mereka.  Sahabat Mang Mat yang lain, lain lagi.  Sahabat ini mengaku berkesempatan haji gara-gara....... ”nama” !!  Ceritanya : atasannya yang berencana berhaji, tiba-tiba berhalangan untuk ke Mekkah musim haji tahun itu.  Ia ingin, jatahnya diberikan saja kepada  bawahnnya. dengan syarat penggantinya itu harus mempunyai nama yang ”ke-arab-araban”.  Setelah disodorkan sejumlah nama pegawai, tertumbuklah mata si-Bos dengan nama ”Abdul Hamid....” melik kawan tadi.  Jadilah dia berangkat haji, ya begitulah kalau undangan Allah sudah datang.

    Tapi niat dan keinginan yang kuat saja belumlah cukup Mang !! Harus disertai usaha (ikhtiar) yang sungguh sungguh juga.  Kita ini pada dasarnya sudah diundang, sudah dipanggil, sudah diseru Allah untuk pergi haji ke Baitullah itu. Kita saja, yang karena kepicikan tidak mampu merespon, demikian yang dapat ditangkap dari nasihat yang lain, sehingga belum juga  menunaikan ibadah yang wajib sekali seumur hidup itu. Apalagi sebagai pensiunan rasanya sulit, kata seorang Bapak – orang tua dari tetangga baru Mang Mat - beberapa bulan lalu.  ”Maka itu harus usaha, Pak ..... cari biayanya.... ya kalau tidak ada jual saja rumah tempat tinggal bapak ini.... kan kalau dijual, bisa untuk ongkos perjalanan haji suami isteri, Pak !!” begitu inti sarannya seolah ”mengompori”.  Dia bercerita sudah berulang kali menunaikan ibadah haji, seraya mengajak bergabung di KBIH nya kalau mau berangkat haji.

     Mang Mat fikir, betul juga nasihat Bapak yang juga pensiun itu. Jual rumah, dapat uang, lalu bisa menunaikan ibadah haji. Nasihat yang cespleng fikirnya sependapat.  Tapi ujung nasihatnya yang membuat Mang Mat masih berfikir-fikir.....”Kalau sudah haji... soal nanti mau tinggal dimana ya numpang saja dirumah anak....”. Nah, ini, menjual rumah, lalu menumpang  dan lalu menyusahkan anak mantu, hal ini yang Mang Mat belum dapat membayangkannya.  Ujung-ujungnya belum juga tahun ini berkesempatan haji. Ataukah Mang Mat ini, masih termasuk golongan yang belum mampu berhaji, sehingga  memang belum wajib berhaji ? 

     Beliau pun lalu ingat dengan ceramah seorang da’i pada acara selamatan haji seorang kawan yang tinggal tiga rumah disebelah sekitar tiga tahun lalu. Penceramah bercerita tentang fadilah haji itu, terus terang mengaku dia sendiri belum bertitel Haji.  Alias belum sama sekali berkesempatan haji, karena merasa belum mampu secara finansial untuk mengongkosi perjalananan ketanah suci.  Intinya, bagi beliau lebih afdol kalau menunaikan haji dengan kemampuan ongkos usaha sendiri.  Benar pula, ya ?

    Mang Mat tidak tahu apa bapak penceramah tadi, waktu itu sudah mempunyai rumah sendiri atau masih kontrakan.  Tapi yang jelas dia belum berhaji waktu itu, karena belum mampu membiayai sendiri, sehingga belum berhaji.  Mang Mat pun berfikir kondisi keluarganya saat ini mungkin sama seperti itu, alias belum berkemampuan untuk berhaji dengan biaya sendiri.

     Namun apapun ceritanya, seperti Bapak Penceramah yang belum haji itu, terus saja dia berdoa dan berharap, mudah-mudahan Allah yang Maha Rahman dan Rahim memberi jalan dan kemudahan di tahun tahun depan. Insyaallah...  Mungkin tahun ini belum fikir Mang Mat. Apalagi menyadari ibadah wajib harian saja masih saja banyak kurang, apalagi kalau sholat tahajjud atau dhuha dll, istilahnya masih bisa dihitung dengan jari tangan. Mudah-mudahan nanti Allah SWT mengundang, Mudah-mudahan Allah SWT  memberikan kesempatan untuk memenuhi undangan-Nya itu walaupun   istilahnya dengan ”berjalan kaki atau menunggang unta yang kurus” sekalipun, tidak mengapa.  Semoga saja... amiiin ya Allah.

(maz. 8/8/2007)


     

KARIKATUR....

KARIKATUR MEMANG LUCU DAN MENGGELITIK,
TAPI TIDAK BOLEH MENGHINA

Drs.Masatif Ali Zainal

               Sekitar 7 tahun yang lalu, karikatur di sebuah media cetak luar negeri bikin heboh !  Seperti di beritakan waktu itu, sebuah koran Australia “The Weekend Australian” terbitan 1 / 4 / 2006 memuat karikatur yang tidak lucu. Karikatur itu sangat menghina bangsa kita. Masa, Presiden digambarkan sedang “indehoy” menunggangi sosok saudara kita dari Papua. Keterlaluan, jelek, selera rendah, menghina, itulah kata-kakta sumpah serapah mengomentari karikatur itu.
                          Si Kartunis memang sudah minta ma’af. Tapi rasanya sakit hati dihina atau dilecehkan masih saja membekas. Katanya pemuatan karikaturnya itu  untuk membalas pemuatan karikatur di koran kita Rakyat Merdeka” terbitan beberapa hari sebelumnya (27 /3). Disitu digambarkan sosok PM John Howard digambarkan sedang (maaf) berhubungan intim dengan sosok Menlu Alexander Downer. Dua-duanya digambarkan sebagai sosok hewan liar. Ada tulisan (teks)  yang mengesankan ucapan Howard : “I want Papua ! Alex ! Coba you mainkan !” sambil melihat papan yang ada tulisan “Papua”.
           
                          Terus terang saya hanya melihat sekilas karikatur itu dari pemberitan di televisi dan membacanya di koran beberapa waktu kemudian.  Menurut penulis, kedua karikatur itu sama jeleknya, sama joroknya ! Apalagi sangat kental nuansa penghinaan atau pelecehan didalamnya. Berlindung dibalik kebebasan pers sekalipun, pemuatan karikatur seperti itu tetap terlarang. Apalagi bagi koran kita, yang seharusnya  mempertimbangkan lebih dulu baik buruk “content” (isi) surat-kabarnya sebelum diterbitkan;
               Padahal, kebanyakan karikatur yang dimuat pada media cetak  umumnya mempunyai tujuan yang positif. Sebagai salah satu muatan surat kabar, sering ia mengeritik atau menyindir halus apa yang sedang terjadi di masyarakat. Tapi yakinlah, suka atau tidak, karikatur ingin menyadarkan kita bahwa ada “masalah” ditengah masyarakat, yang minta dicarikan penyelesaiannya.
            Dalam tulisan ini saya ingin ikut menimbrung membicarakan tentang karikartur. Bukan dari segi politik yang kadang bisa membuat karikatur menjadi heboh., bukan pula dari segi karikatur sebagai karya seni, Saya cuma memperbincangkan sekedarnya “mahkluk” macam apa karikatur itu dan peranannya sebagai muatan media cetak. Itu saja.  Sementara itu kita tidak dapat menyembunyikan keheranan mengapa pengaruh karikatur seringkali begitu kuat, begitu menggugah dibandingkan isi surat kabar yang lain.
Banyak permasalahan yang diberitakan, atau opini yang diungkapkan dalam wujud  “huruf tulisan “ setiap harinya, tapi efeknya mungkin biasa-biasa saja. Tapi bila issu yang berkembang, diinterpretasikan dalam wujud karikatur, apalagi yang tendensius, hebohnya bukan alang kepalang. Contohnya, ya, karikatur yang menghina nabi Muhammad oleh media cetak asing beberapa waktu yang lalu, yang mendapat protes dan kecaman dari dunia Islam.
 Apa karikatur itu ?
            Karikatur merupakan salah satu bentuk kartun (cartoon ) atau komik yang digambar atau dilukis secara lucu, menarik. menggelitik, dan penuh rasa humor Jadi, karikatur adalah kartun. Cuma bedanya:kartun semata mata menonjolkan humor, sesuatu yang lucu atau kocak dan kadang sedikit konyol. Sedangkan Karikatur merupakan kartun sindiran, gambar lucu yang mengisyaratkan opini (pendapat) surat kabar yang bersangkutan mengenai suatu permasalahan. Ia dibuat atau digambar sedemikian rupa untuk menginterpretasikan suatu peristiwa secara padat dalam bentuk gambar yang penuh humor.
            Untuk mendapatkan efek lucu dan menarik, biasanya ciri khas suatu tokoh atau objeknya sangat ditonjolkan, bahkan agak dilebih lebihkan. Tokoh yang hidung mancung, di karikatur lebih mancung dari aslinya. Yang gemuk di buat lebih “subur” lagi, Tokoh yang kesehariannya selalu memakai kaca mata, kaca matanya dibuat lebih besar sehingga tampak dominan sebagai ciri khas tokoh tersebut. Sebagai kartun humor, sering kali bagian kepala tokoh lebih besar dari bagian tubuh atau kaki. Supaya lucu dan perhatian yang melihat lebih focus. Dengan tampilan anatomi seperti itu akan mudah menggambarkan adegan atau cerita dalam karikatur.
            Suatu karikatur tunggal diharapkan dapat bercerita selengkap mungkin, yang kalau dituliskan dalam bentuk kolom dengan memakai “huruf-huruf “ mungkin perlu beberapa halaman. Tapi dengan karikatur, semua gagasan panjang lebar, dapat dipadatkan dalam satu gambar saja. Itulah kelebihan karikatur, membenarkan ungkapan ”satu gambar bisa berbicara seribu kata“. Makanya digunakan simbol-simbol yang dikenal dan menarik. Contohnya topi koboy (cowboy) untuk menggambarkan Amerika, hewan kangguru menunjukan Negara Australia. Koran asing mungkin membuat karikatur tentang Indonesia dengan gambar symbol sosok tokoh memakai kopiah. Karikatur biasanya berimajinasi menggunakan symbol-simbol yang sesuai dengan karakter. profesi atau aktifitas yang khas dari objek yang dikarikaturkan.
            Dalam karikatur, sosok tokoh dapat digambarkan atau dilukis dalam bentuk macam-macam, asal sesuai, benar dan tidak menghina atau melecehkan. Maka itu jangan heran ada tikus yang bertuliskan “koruptor” atau gambar pejabat menunggang keong (siput) tidak berdaya di kejar dan mau dipatuk seekor burung raksasa yang bernama “flu burung”. Kadang terlihat seorang tokoh atau perusahaan besar digambarkan sebagai raksasa, bahkan ada yang menjadi hantu atau siluman!!  Pemilihan symbol-simbol seperti itu boleh-boleh saja, untuk mendapatkan efek-efek lucu dan menarik. Tapi yang terpenting, sebenarnya supaya pembaca atau yang melihat karikatur dapat lebih mudah memahami esensi yang terkandung didalamnya. Ya,nama saja karikatur, kartun lucu.

Gambar opini
            Dalam surat kabar (Koran), karikatur termasuk kelompok opini. Koran biasa memuatnya disatu halaman bersama Tajuk Rencana (Editorial), karangan artikel /tulisan kolom, surat pembaca dan “pojok”. Malahan Dr. Floyd G Arpan menyebut karikatur tidak ubahnya sebagai Tajuk Rencana Bergambar (visual editorial). Dengan gambar yang lucu dan menggelitik, karikatur mencoba mengajak masyarakat memahami dan mendalami suatu kejadian dengan memberikan latar belakang, memberikan interpretasi, menunjukkan kecenderungan yang bakal terjadi.
            Karikatur dalam penggambarannya bersifat subjektif, maka tak dapat di hindari berbagai pendapat, keinginan, harapan dari masyarakat tertuang juga dalam karikatur.
             Mau buktinya lihatlah karikatur yang dimuat “Berita Pagi” secara rutin terbitan hari minggu, menginterpretasikan topik permasahan yang berkembang di masyarakat. Karikaturnya bagus menggelitik. Tampak menyindir atau mengkritik, tapi halus dan sopan. Cobalah lihat karikatur terbitan Minggu 2 April. Kita mungkin tersenyum geli. Ada binatang kangguru besar yang kantung perutnya berisi penuh. tapi bukan berisi anak-anak kangguru sungguhan, tapi ternyata sosok manusia berambut keriting tertawa tawa nyengir. Satu orang di antaranya melambaikan kertas bertuliskan ”Visa 42 warga Papua”. Dari symbol yang digunakan, kita segera dapat mengetahui maksud karikatur itu dengan gamblang. Tapi coba lihat lagi, ternyata si kangguru masih menyembunyikan sesuatu dibelakang pantatnya. Kertas bertuliskan ‘Skenario” !!  Waw…mungkin ujar pembaca, jadi ada yang mendalangi pelarian 42 warga Papua ini, ya ?
            Begitulah karikatur mengetengahkan suatu permasalahan yang sedang terjadi dengan lucu, menarik dan halus. Melihat sosok kangguru, siapapun segera tahu bahwa yang membuat skenario itu ……ya pastilah Negara yang banyak kangguru dinegerinya itulah. Saya yakin orang bule Australia yang melihat karikatur ini tidak akan marah, paling-paling mereka akan senyum-senyum kecut karena disindir.

Cermin Wajah Kita
            Melihat karikatur Ibaratnya kita melihat ke cermin.  Akan terlihat “borok  atau “bopeng’ diwajah kita.  Melihat karikatur  seolah melihat “potret” masyarakat dengan segala permasalahan yang kompleks.  Dalam kelucuannya ia berusaha menginfomrasikan adanya suatu masalah besar di dalam masyarakat.
            Contoh yang bagus lainya lihatlah karikatur sindirian sebuah yang menggambarkan seorang Pria Asing berhidung mancung menyedot air kelapa muda (yang ada tulsian “Sumber Daya Alam” dan gambar kepulauan Nusantara)  tanggal 12 Maret Digambarkan sosok pria yang memakai kemeja bergambar bendera salah satu Negara asing itu,  terus juga menyedot (karena  di karikatur itu dia memakai sedotan!!)  air kelapa muda.  Ia Cuek saja, walaupun di depan hidungnya, bahkan tepat diatas buah yang dinikmatinya itu, berdiri sosok anak kecil berpakaian compang – camping, perut buncit, ngiler minta diberi bagian seteguk saja.  Tapi terlihat dalam karikatur itu, si Pria Asing tak mau membagi barang setetespun !  Serakah !!
Pembaca yang mengamati karikatur itu pastilah terenyuh hatinya.  Kita segera menyadari begitulah keadaan masyarakat, khususnya saudara kita di Papua sana.  Walaupun buminya kaya raya dengan aneka barang tambang, tapi kebanyakan masyarakatnya miskin, karena “disedot” oleh perusahaan asing.  Karikatur menggugah kita, mengajak semua pihak terkait menyadari permasalahannya, ikut memikirkan, dan bila mungkin ikut mencarikan jalan keluarnya.
            Karikatur dapat menyampaikan perasaan, saran dan kritik dengan enak dan tidak menyakitkan. Kalau tulisan yang menyentil  tak jarang membuat orang yang dikritik merah kupingnya.  Justru karikatur lebih halus seolah-olah bercanda saja.  Ibarat obat, karikatur walaupun terasa pahit dapat menjadi obat mujarab meyembuhkan permasalahan kemasyarakatan.
            Ya, itulah sedikit cerita tentang karikatur dan peranan yang dimainkannya.  Ciri khasnya lucu dan menggelitik.  Bagi media cetak, rasanya ada sesuatu yang kurang, bila tidak memuat karikatur. Koran yang tidak ada karikatur, ibaratnya makanan tanpa garam, hambar dan kurang sedap.  Syukur-syukur rutin hadir menemui pembaca tiap seminggu sekali, dengan format besar sangatlah bagus.

            Kata Daniel Dhakidhae ;  karikatur memang seolah-olah mempermainkan sesuatu yang sebenarnya sungguh-sungguh.  Tapi sebenarnya pula ia bersungguh-sungguh dalam mempermainkan sesuatu (permasalahan).  Artinya karikatur mungkin saja mengeritik dan atau menyindir dengan penuh canda dan olok-olok, tetapi selalu tetap berpijak pada kebenaran, tanggung jawab dan akal sehat
            Maka itu, karikatur jelek, kasar, porno dan menghina atau melecehkan, seperti  karikatur yang dibuat oleh koran asing yang  yang menghina  bangsa kita tadi, sangat-sangat diharamkan.! ****



Minggu, 01 Desember 2013

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT,MEMPROMOSIKAN PEMBANGUNAN

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT, IKLAN MEMPROMOSIKAN PEMBANGUNAN

Oleh :  Masatif Ali


         Di jalan jalan protokol, atau ditempat tempat strategis dalam kota, sering mata kita tertumbuk dengan iklan berupa papan reklame besar yang lain dari yang lain. Ia tidak menawarkan  produk atau jasa, tapi yang ditawarkan adalah gagasan (ide). Ia tidak merayu khalayak—misalnya-- untuk membeli produk mobil merek tertentu, tapi  mengajak masyarakat waspada  dan berpartisipasi dalam pemberantasan  penyakit demam berdarah (DBD) yang banyak menyerang  warga masyarakat saat itu, atau mengajak agar tertib berlalu lintas. Ia bukan menawarkan merek rokok  atau pulsa hemat, tapi ajakan kepada masyakat untuk menjalin persatuan dan kesatuan bangsa.

          Kalau di televisi bisa lebih hebat lagi, iklan bisa tampil layaknya sebuah tayangan film pendek. Misalnya untuk mensosialisasikan tertib lalulintas, ditunjukkan bagaimana mengemudi mobil dengan baik, sopirnya memakai sabuk pengaman, tidak menggunakan HP sambil menyetir, dan hati2 melihat ada oraang menyeberang......kemudian disambung gambaran perilaku buruk di jalan raya: adegan pengendera sepeda motor yang ugal-ugalan yang berakhir dengan kecelakaan fatal, diteksnya tertulis.....”Sayangi Nyawamu” serta tulisan besar besar dilayar  agar masyarakat berempati di jalan raya......... Atau iklan gagasan untuk mengajak semua fihak untuk memberantas korupsi ditanah air,,,,


        , Dulu, sekitar tahun 2007 di sebuah  surat kabar lokal Sumsel, diantara iklan produk dan jasa seperti iklan pengobatan tradisional, jasa layanan transport, iklan pusat belanja dengan diskon,  iklan kursus, tampak sebuah iklan yang dari yang lain itu.. Apa ya iklannya ? Ternyata iklan gagasan  berupa pesan untuk melindungi anak-anak kita dari tayangan tayangan  seronok di televisi…. Terutama  dari program tayangan malam yang tidak  cocok dengan anak-anak. Iklan display seperempat halaman itu  memperlihatkan dua orang anak  dengan ayah ibunya sedang menonton acara televisi. Bunyi pesan iklannya : “Bantu anak anak  anda dalam menentukan tayangan yang tepat untuk mereka”. Untuk lebih meyakinkan khalayak di inset iklan itu, ada foto Kak Seto, yang berujar : ”Orang tua wajib mengawasi tayangan yang tepat bagi putra putrinya”.

       Dengan makin berkembangnya media elektronik radio atau televisi, bahkan media baru Internet iklan gagasan seperti itu makin makin memperoleh kesempatan bersaing dengan “saudara tua”nya yang lebih dulu eksis iklan-iklan  komersial! Ada iklan “Hemat Energi”, ada iklan mengajak konsumen menghemat pemakaian listrik. Ada pula yang menawarkan gagasan “3M” dalam mengatasi bahaya si belang nyamuk demam berdarah aedes aegypti.  Oh, ya, barangkali juga pembaca  pernah melihat tayangan  mantan Menteri, sambil menikmati daging ayam goreng  meyakinkan masyarakat agar jangan ragu mengkonsumsi daging ayam, asalkan diolah/ dimasak dengan benar !!! Tidak usah takut dengan flu burung yang sedang merebak diseantaro negeri ini, begitulah kira  kira pesannya agar masyarakat tidak trauma. Bahkan sewaktu Masa Kampanye para Calon pun dapat beriklan memperkenalkan diri, menawarkan program dan meminta  dukungan masyarakat pemilih.

Iklan Pembangunan.
      Iklan yang dicontohkan  diatas,  biasa disebut iklan gagasan (Idea Advertising), atau dalam konsep yang lebih luas,  disebut Iklan Pembangunan (Development Advertising). Masyarakat umum sering menyebutnya Iklan Layanan Masyarakat. Yang dijual bukan barang dagangan , produk atau jasa. Tapi yang dijual, yang dipromosikan berupa gagasan pembaharuan, pembangunan yang diperlukan masyarakat yang sedang membangun. Bisa juga mempromosikan gagasan solusi untuk mengatasi berbagai masalah seperti mengatasi wabah penyakit, banjir, penggundulan hutan,  bahkan upaya memberantas KKN, Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, atau pemberantasan korupsi.

       Menurut Benyamin V. Lozaree, pakar komunikasi Filipina yang dalam tahun tujuh puluhan mengelilingi sembilan negara Asia meneliti periklanan pembangunan, mendefinisikan Periklanan Pembangunan itu sebagai  “… pemanfaatan prinsip, methode dan teknik periklanan untuk membantu terwujudnya sasaran dan tujuan pembangunan nasional”. Jadi,   bukan menjual barang dagangan, tapi menjual gagasan pembangunan, yang menjajakan nilai-nilai pembaharuan yang positif kepada masyarakat.

       Kecenderungan positif untuk beriklan pembangunan, beriklan layanan masyarakat,  nampaknya mulai berkembang mulai saat itu. Kabarnya tahun 1973, para pakar dan praktisi komunikasi, periklanan, Keluarga Berencana & Kependudukan rame-rame mengadakan seminar di East West Centre Hawaii membahas peranan apa yang dapat dimainkan oleh dunia periklanan dalam menunjang program KB yang mulai digalakkan. Dalam pertemuan  ditunjukkanlah contoh-contoh pemanfaatan periklanan dalam program KB, misalnya apa yang dilakukan di negara-negara Asia, di Afrika Barat. Lalu bermunculan iklan kampanye berbagai program pembangunan dimana-mana.

       Di Indonesia, Filipina, India, mulailah bermunculan iklan non-product ini. Yang paling menonjol pada waktu itu iklan kampanye KB dan Kependudukan. Dimana-mana, di radio, di media cetak, bahkan di papan reklame, poster, kita melihat himbauan agar masyarakat berKB dengan teks besar besar :”Anak kami dua, bagaimana dengan Anda….??” Di radio  terdengar kumandang   jinggle  (lagu) “Aku anak sehat tubuhku kuat, karena ibuku rajin dan cermat, semasa aku bayi selalu diberi ASI dan imunisasi…”.

Cukup ampuh.  
 
        Iklan dengan daya membujuk (persuasi)nya yang kuat, mampu menggelitik sasarannya. Dengan memanfaatkan segi kejiwaan sasaran , ia mampu membujuk sasaran menuruti apa yang diiklankan, dengan lihainya iklan mendekatkan pesan dengan ego sasaran dan memuaskan emosional sasarannya, sehingga sasaran tertarik. Apalagi bila dibumbui dengan segudang “janji” yang menggiurkan. Siapa yang tidak  tergiur dengan janji kecantikan sebuah parfum ? Atau kejantanan, kekuatan dan kehebatan yang digambarkan iklan produk minuman sebuah merek minuman energi ? Iklan gagasanpun  meniru kiat yang serupa dalam menarik dan mendapatkan partisipasi khalayak.

        Sejak itu iklan gagasan, iklan pembangunan  makin  marak, sejalan dengan kemajuan dunia teknologi komunikasi dan kebutuhan perlunya mendapatkan  partisipasi masyarakat.  Iklan-iklan model ini seolah menyeru kita untuk ikut berpartisipasi menyukseskan suatu program yang dibuat  pemerintah untuk rakyatnya..  Iklan-iklan itu mengajak khayalak ikut serta, karena memang untuk kebaikan masyarakat seluruhnya. Kecenderungan iklan model baru ini, berlanjut terus sampai sekarang. Maka itu di kota kota besar hampir selalu ada  iklan seperti itu ditempat-tempat strategis. Di Palembang misalnya, beberapa tahun lalu ada iklan “Visit Musi 2008” untuk mengkampanyekan  program pariwisata air Pemkot Kota. Ada lagi iklan luar ruang mempromosikan “Sumsel Lumbung Pangan dan Energi” dengan gambar Gubernur serta Wakil Gubernur, ingin menyakinkan betapa besarnya potensi provinsi ini sebagai penyedia pangan dan energi. Atau berupa billboard raksasa menunjukkan kesiapan Pemda menjadi tuan rumah event olahraga internasioanal Islamic Solidarity Games......

        Dari mana biaya beriklan Layanan Masyarakat ? Ada yang dibiayai sendiri, ada pula dengan kerjasama  dengan  perusahaan besar. Banyak Iklan Layanan Masyarakat dilaksanakan seperti itu, mungkin karena  perlu dana  besar jadi perlu sponsor. Masyarakat periklanan menyebutnya sebagai Iklan Bonceng (Free Ride Advertising),  Misalnya  iklan “Tertib Lalu Lintas”, diboncengkan pada iklan produk dari produsen tertentu  pada satu display.  Dengan iklan bonceng semuanya untung. Gagasan pembangunan jalan,  yang mensponsorinya pun  untung.

        Pernah di metropolis Palembang, satu dari sekian banyak iklan semacam itu terpampang megah di menara Jembatan AMPERA Reklame yang berbentuk baliho raksasa ini  mempromosikan tekad  pemerintah untuk membangun Sumsel yang lebih baik. Memang ada yang memprotes, pemasangan iklan promosi itu katanya kurang bagus dipasang di jembatan monumental kebanggaan  “wong  Palembang” itu. Protesnya soal tempat pemasangan, bukan protes isi iklannya, karena  jujur isi dan tujuan iklan itu bagus. Memang didalam etika periklanan hanya mengatur isi pesan iklan, rasanya tidak menjelimet sampai harus dipasang dimana atau ditempat mana. Memang rasanya kurang bagus kalau dipasang sebarangan bergelantungan semerawut dibatang batang pohon atau ditiang listrik, kan bisa merusak pemandangan. Jadi pada akhirnya,  hati nurani masyarakat periklananlah yang  menyadarkannya mana yang patut atau tidak patut diiklankan, termasuk patut dimana memasangnya. Disamping hati nurani, selanjutnya mestilah juga memperhatikan  reaksi  atau tanggapan masyarakat. Bukankah masyarakat adalah sasaran terakhir dari periklanan yang harus diperhatikan juga kepentingannya ? Kalau mereka merasa risih mengapa tidak ? Contohnya iklan kosmetik bergambar sosok wanita cantik dan seksi, yang pernah dipajang hanya beberapa meter dari Masjid Agung, setelah diprotes karena kurang etis memasangnya dekat tempat ibadah, ternyata diperhatikan dan dicopot oleh pemiliknya.

        Pokoknya, iklan gagasan sama menariknya dengan iklan-iklan komersial. Prinsip persuasinya dalam menggaet sasaran juga sama. Sama dengan iklan produk (iklan komersil), iklan pembangunan (iklan non komersil)pun mempunyai kemampuan yang sama menanamkan berbagai gagasan pembaharuan dan berbagai  kebijakan  atau program pembangunan. Kalau  iklan kosmetik merayu-rayu menjanjikan kecantikan pemakainya bak selebritis,  iklan gagasan “Pemberantasan KKN” pun, kalau dibuat dengan kreatif,  yang mampu menjanjikan  pemerintahan yang bersih, tentu menarik.  Asal jangan janji gombal, janji kosong yang membohongi khalayak. Sebab, kata David Ogilvy, ”promise is the soul of an advertisement” (janji adalah nyawa periklanan). Tentu janji yang wajar, yang masuk akal dan bertanggung-jawab sesuai dengan realita gagasan yang ditawarkan. Maka itu, iklan gagasan -- walaupun berupa wujud gagasan – pada dasarnya tetap  menginformasikan program atau pemikiran yang konkrit, bukan program “diatas awang-awang”, yang sloganistis, yang bombastis, yang sekedar mengumbar janji belaka……, bukan itu !!  ( Masatif Ali, 02/12/2013 )


Kamis, 28 November 2013

PWRI

SUDAHKAH ANDA MENGENAL PWRI ?
     Anda mungkin bertanya apa itu PWRI.....Persatuan Wartawan kah? Oh, bukan....bukan....sebab kalau persatuan untuk para wartawan itu PWI....Nah, ini PWRI, ya ada R nya........PWRI itu singkatan dari “Persatuan Wredatama Republik Indonesia”, persatuan para pensiunan. Kalau PNS Aktif wadahnya KORPRI, maka untuk para pensiunannya PWRI ini......
     Lalu mengapa Wredatama? Dipilih nama ini mungkin klop dengan siapa yang menjadi anggotanya. Wreda (baca: werda) artinya “orang tua”; Tama berasal dari kata “utama”. Jadi WREDATAMA itu artinya “Orang Tua yang Utama”, karena telah lulus, selesai dengan baik, diberhentikan dengan hormat, memasuki masa pensiun sesudah bertahun tahun menunaikan tugasnya sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat.
     PWRI pertama kali dibentuk tahun 1962. Ketika itu, tepatnya tanggal 24 Juli 1962 di Jogyakarta, ketika 17 Organisasi Pensiunan yg sudah ada sebelumnya bersepakat membubarkan diri, lalu membentuk satu wadah yang baru sebagai wadah para pensiunan PNS diseluruh Indonesia.
     Sebagai organisasi “WONG PENSIUNAN”, ia sudah diakui Pemerintah sebagai satu satunya Organisasi Pensiunan yang mewadahi segenap Pensiunan PNS, Pensiunan Karyawan BUMN/BUMD, dan Pensiunan Pejabat Negara, Mantan Kepala dan Perangkat desa, serta Janda / Duda pegawai / pejabat tsb.
     Kepengurusan PWRI ada disemua tingkatan: DI tingkat Pusat, di Provinsi, Kabupaten / Kota, sampai tingkat Kecamatan di seluruh Indonesia.
     Dan satu lagi yang perlu diketahui¸bahwa dalam rangka reformasi maka PB PWRI Pusat telah menyatakan bahwa PWRI merupakan organisasi yang mandiri dan tidak menyalurkan aspirasi politiknya kepada Partai Politik manapun.
DOKTRIN & KODE ETIK PWRI
     Dalam Munas PWRI Tahun 2006, telah ditetapkan DOKTRIN PWRI adalah “TATA TENTERAM KARTA RAHARJA”, sedangkan KODE ETIK PWRI bunyinya :
     Kami warga Persatuan Wredatama Republik Indonesia;
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME;
  2. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
  3. Berbudi luhur, bijaksana, lapang dada, setia kawan, mengutamakan hidup sederhana, dan mandiri:

  1. Bersikap terbuka, gotong royong, meningkatkan kesejahteraan sesama wredatama, dan bekerja sama dengan fihak lain atas persamaan derajat:
  2. Meningkatkan kualitas hidup, seerta mengamalkan pengetahuan bagi pembangunan Negara dan Bangsa.
       Nah itulah sekedar perkenalan singkat dengan PWRI, Persatuan Wredatama Republik Indonesia. DI Kota kami Palembang seperti Kota / Kabupaten lain diseluruh Indonesia, disini juga ada PWRI nya..........
      Bulan Februari 2013 lalu Kepengurusan 5 tahun lalu (2008-2013) telah berahir masa tugasnya, dan kini PWRI KOTA PALEMBANG telah mempunyai Kepengurusan yang baru (Priode 2013-2018)  dan telah dilantik dengan KETUA Drs H Azhari Said. Dalam kepengurusan yang baru ini Ketua dibantu oleh  4 orang Wakil Ketua, Sekretaris / Wakil Sekretaris, Bendahara, dan 7 SEKSI :
1.    Seksi Organisasi
2.    Seksi Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat
3.     Seksi Pelatihan dan Pengembangan SDM
4.     Seksi Usaha dan Koperasi
5.     Seksi Kesejahteraan Sosial dan Kerohanian
6.     Seksi Bantuan Hukum dan Pengaduan
7.     Seksi Hubungan Masyarakat (HUMAS).
Selamat melaksanakan tugasnya kepada seluruh Pengurus PWRI yang baru ini,  mudah mudahan selalu sukses........
(Masatif Ali, November 2013)

     

MEMBERDAYAKAN MEDIA TRADISIONAL UNTUK DISEMINASI INFORMASI

MEMBERDAYAKAN MEDIA TRADISIONAL
UNTUK DISEMINASI INFORMASI



Media Tradisional atau seni pertunjukan rakyat merupakan suatu bentuk atau jenis kesenian tradisional yang hidup dan berkembang didalam masyarakat.  Biasanya, karena ada dialog didalam ceritanya, maka ia cukup komunikatif untuk dititipi (istilahnya diseminasi) pesan-pesan.  Contohnya berbagai seni tutur seperti dongeng, kisah, pantun, jelihiman, senjang atau juga yang berbentuk teater seperti dul muluk, bangsawan, seni pewayangan, ketoprak, ludruk, mamanda, dsb.

Bermacam kesenian tradisional yang komunikatif itu, kadang-kadang menjadi bagian dari acara tradisi.  Dulu, pada masa sebelum kemerdekaan konon katanya, syair Dul Muluk (sebutan untuk “Abdul Muluk”) dibacakan dihadapan tamu/undangan pada acara selamatan khitanan.  Ketika kemudian syair  tersebut menjadi seni teater rakyat, maka pada acara selamatan dikampung-kampung tidak sreg rasanya kalau tidak nanggap Dul Muluk atau wayang.  Memang sekarang sudah jarang, barangkali sudah kalah dengan seni-seni yang lebih modern.  Tapi seni tradisional ini sebagian masih hidup, bahkan sekarang didalam pidato-pidato formal sekalipun, orang berpantun ria untuk menyampaikan pesan kepada audience karena menarik.

Jenis-jenis kesenian yang disebut pertunjukan rakyat sebenarnya banyak sekali jenisnya.  Memang ada yang sudah mati suri, hidup enggan mati tak mau.  Tapi banyak juga yang masih bertahan tertatih tatih menunggu perhatian kita, karena betapapun ia adalah warisan seni budaya bangsa kita, yang sewajarnya dilestarikan.

Punya Potensi
Banyak kelebihan pertunjukan rakyat : sifatnya yang spontan, bentuk tampilan seninya tradisional, akrab dengan penonton membuatnya menarik dan disukai penontonnya.  Karena sifatnya yang komunikatif (bercerita, bertutur, ada dialog) maka jenis kesenian ini mampu dititipi atau disisipi pesan-pesan informasi.  Maka itu jangan kaget kalau ”Khadam” pada teater Dul Muluk atau ”punakawan” pada pagelaran wayang ”ngomong” soal siskamling, posyandu, atau program pembangunan seperti Sumsel Lumbung Pangan dan Energi Nasional atau menyukseskan program pariwisata ”Visit Musi”, event olahraga PON XVI, Islamic Solidarity Games, dsb.

Dimasa dahulu, seni pewayangan yang komunikatif telah dimanfaatkan oleh para wali di Jawa untuk menyebarluaskan Islam.  DR. Pigeud menyatakan  bahwa mite pada masa pra-Islam yang dianggap sakral, oleh para wali justru dipopulerkan dan digubah baru sesuai dengan kebutuhan pengembangan Islam, disamping menggunakan media dakwah.

Diawal-awal kemerdekaan, media tradisional/media pertunjukan rakyat ini menghibur masyarakat, sekaligus menyampaikan pesan-pesan persatuan dan kesatuan bangsa.  Begitu juga pada event pameran (expo) atau pekan raya, biasanya tidak ketinggalan dipergelarkan berbagai atraksi pertunjukan rakyat, sehingga membantu pertunjukan rakyat dapat bertahan, walaupun dengan upaya mandiri (self sufficient).

Kemudian peran media pertunjukan rakyat (pertunjukan/kesenian tradisional) itu merosot.  Penyebab menurunnya peran itu, menurut Paulus Wiratomo (pada Seminar pengkajian pemberdayaan jaringan komunikasi sosial, tahun 2004) antara lain :
  1. Pada zaman Orde Baru, media tradisional lebih banyak direkayasa menjadi corong semata. Apalagi dominasi  media modern dan pemerintah waktu itu yang kurang memberi kesempatan kepada media tradisional untuk mengembangkan diri.
  2. Para elit daerah yang diharapkan ikut mengangkat seni tradisional kurang mendukung.  Sebagian bahkan lebih senang dengan seni budaya kosmopolitan (Barat) dan membiarkan media tradisional itu berkembang sendiri oleh masyarakat kalangan bawah sendiri.
  3. Adanya anggapan yang salah bahwa jenis-jenis kesenian rakyat itu tidak dapat beradaptasi terhadap modernisasi, ketinggalan jaman dan dianggap kolot.  Pada sisi lain, usaha inovasi dan pengembangan terhadap seni tradisi kadang-kadang dianggap ”penyelewengan” dari pakem.
  4. Pemerintah dan masyarakat kurang tertarik karena menganggap seni seperti itu tidak mempunyai ”nilai jual” padahal kalau dikemas dengan baik, sebenarnya kesenian tradisional pun bisa menjadi komoditi yang laku di lingkup nasional bahkan internasional.

Perlu terus pemberdayaan

Alhamdulillah dewasa ini, walau masih tertatih-tatih, sekarang kita mulai  lagi menyaksikan berbagai pagelaran (pementasan) media kesenian pertunjukan rakyat. Sekarang sudah mulai sering lagi kita saksikan misalnya pertunjukan seni teater tradisional ”Dul Muluk” atau ”Bangsawan” di berbagai event, bahkan sering tampil mentas di televisi.  Bahkan kalau kita perhatikan acara-acara hiburan di televisi, termasuk paket program serius seperti masalah kesehatan  pendidikan, dsb. disiarkan dalam bentuk pertunjukan tradisional. Ternyata tayangan seperti itu cukup disenangi masyarakat.

Jadi betul yang dulu dikatakan DR. Alfian, bahwa tidak benar persangkaan umum bahwa media modern (seperti radio, televisi) akan terlepas sama sekali dari komunikasi tradisional atau media tradisional. Namun kita jujur melihat masih ada kelemahan SDM, terutama bagaimana mengemas dan menyajikan informasi menjadi pertunjukan yang bagus dan menarik. Begitu pula masih perlu waktu agar pertunjukan dapat mendiseminasikan informasi tanpa merusak pakem cerita yang sudah baku. Kalau dulu berbagai kesenian  komunikatif itu dapat bercerita soal Keluarga Berencana,  sekarang harusnya dapat pula bicara soal program pembangunan yang makin meningkat.

Tentu perlu dibantu memberdayakannya oleh semua fihak yang terkait melestarikan seni budaya daerah itu.  Pemberdayaan itu merupakan sebuah keharusan. Pemerintah Daerah melalui dinas/instansi terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata dan Seni Budaya, Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi, Dewan Kesenian bahkan Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-METRA) yang sudah ada dibeberapa daerah perlu mengambil langkah pembinaan.  Misalnya mengadakan pelatihan-pelatihan dan pembelajaran untuk meningkatkan kreatifitas berkesenian atau menampilkan pementasan yang bagus dan bermutu terutama bagaimana mengemas pesan-pesan pembangunan (diseminasi informasi) dalam pertunjukan yang menarik.

Berbagai jenis kesenian tradisional, baik yang bersifat teater ataupun bertutur perlu dorongan agar dapat lebih meningkatkan frekuensi maupun kesempatan untuk mengadakan pementasan.  Termasuk bantuan dan fasilitas  agar mereka dapat tampil lebih sering di radio atau televisi swasta.

Dengan demikian siapa tahu nanti, bukan saja seni pewayangan atau seni dul muluk, tapi juga seni jelihiman, tadut atau senjang dan banyak lagi di Sumatera Selatan dapat pula menghibur penontonnya sekaligus menyelipkan pesan (informasi) program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah......


(Masatif Ali, 24 November 2013)

Minggu, 24 November 2013

 MEDIA TRADISIONAL : TONTONAN SEKALIGUS TUNTUNAN,  SEKARANG SUDAH PUNYA WADAH FORUM

Drs. Masatif Ali. ZA

Wakil Sekretaris I Forum Komunikasi Media Tradisional  (FK METRA) Sumsel.

          Sebagai “Wong Sumsel”, senang juga sedikit melihat kehidupan “berkesenian” menampakkan geliatnya kembali. Setidaknya dapat dilihat beberapa waktu terakhir ini, satu dua kali pagelaran, festival, pertunjukan seni budaya atau apresiasi seni diadakan. Ada festival lagu daerah, pergelaran Tadut, “Dul Muluk” atau Reog, bahkan “Barongsay” seni tradisional warga keturunan pun muncul lagi. Bahkan ada sekolah di kota ini punya grup kesenian media tradisional “Dul Muluk” dan sekolah lain mengadakan pelatihan seni teater dsb.
          Berbagai aktivitas pergelaran seni budaya itu, walaupun mungkin frekuensinya bisa dihitung dengan jari dua belah  tangan, ditambah mulai tampaknya berbagai jenis kesenian tradisional muncul di televisi / televisi lokal, serta adanya tulisan kolom dimedia cetak lokal, setidaknya menyadarkan kita bahwa kesenian tradisional masih ada, masih hidup, masih ada nyawanya. Aneka ragam jenis-jenis kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat yang komunikatif,  yang ada dialog, ada unsur bertutur atau bersifat teater sangat perlu dihidupkan, ditumbuh kembangkan sebagai warisan budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Apalagi kesenian tradisional yang komunikatif yang kemudian disebut “MEDIA TRADISIONAL” mempunyai potensi disisipi pesan-pesan tertentu atau itulah sekarang ini untuk  diseminasi informasi.
          Penyampaian (penyajian) pesan informasi yang disisipkan secara halus dan larut dalam cerita melalui media tradisional (meminjam istilah “East West Center Hawaii” disebut FOLK MEDIA atau pertunjukan rakyat) sangat berkesan, halus mempesona dan menyentuh lubuk hati penontonnya tanpa merasa digurui.  Sifatnya yang langsung, spontan dan akrab dengan penontonnya serta penampilannya yang tradisional (merakyat) membuat ia disukai. Media tradisional seperti “Dul Muluk”, berbagai jenis pedalangan / pewayangan serta beraneka ragam kesenian lainnya memang untuk menghibur (entertaint). Tapi dari hiburan itu penonton dapat memetik pesan-pesan moral, saripati pengalaman dan falsafah hidup. Itulah kelebihan (keistimewaan) media tradisional yang tidak dipunyai media lain.
          Penulis pernah merasakan hal itu ketika bersama rekan seniman Nurhasan R (Dewan Kesenian Sumsel) membawa sebuah grup kesenian tradisional “Dul Muluk” mengadakan pementasan di Medan Sumut bulan Juni 2004. Pertunjukan itu dalam rangka ikut “Festival Pemberdayaan / Pemanfaatan Media Pertunjukan Rakyat untuk Diseminasi Informasi”. Diadakan oleh Kementrian Kominfo bekerjasama dengan Badan Kominfo Prov. Sumut diikuti 9 Provinsi Se-Sumatera dan Bangka Belitung. Tujuannya untuk memotivasi agar kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat dimasing-masing provinsi dapat mengambil peran dalam upaya diseminasi (penyebaran) informasi pembangunan.
          Ketika itu diluaran ada yang masih menyangsikan apakah Sumsel sudah siap menjadi tuan rumah event akbar PON XVI 2004, yang pelaksanannya tinggal 3 bulan lagi ? Lalu terpikir mengapa tidak tema kesiapan Sumsel melaksanakan PON ini saja yang diangkat dalam pertunjukan kesenian tradisional di Medan nanti ?
          Alhasil tampillah grup kita dipanggung festival yang diset disebuah Hall Hotel besar dikota itu. Pemainnya 5 orang, dua diantaranya merangkap memainkan alat musik gong dan akordeon. Seperti khas lakon Dul Muluk, kisah dimulai dengan bercerita seputar “Apo lah kabar didalam Negeri”. Para pemain saling melontarkan dialog dan joke (kata-kata lucu) dan gerak yang mengundang tawa. Sampai kemudian suasana cerita menjadi gempar, ketika “seekor” harimau (macan) masuk, mengaum-ngaum mencari mangsa. Tuan putri yang tengah bercengkrama dengan sang ayahanda dan ibunda permaisuri menjerit-jerit ketakutan meminta tolong. Penulis yang kebetulan mendapat tugas “dadakan” memerankan hulubang berkuda, maju kepentas untuk mengusir harimau. Jangan dibayangkan lompatan hulubalang itu “beringas” seperti yang kita lihat di film atau di televisi. Disini gerak kaki kuda harus “nyeni”, maju berapa langkah meliuk kekanan, maju berapa langkah meliuk kekiri. Barangkali mirip gerak kaki penari latar lagu-lagu gambus. Ditingkah dengan bunyi-bunyian jadilah menarik bagi penontonnya. Tapi, eh, ternyata sang “harimau” tadi jinak-jinak saja, tidak mengganggu, tidak menerkam, dan malahan dapat berbicara. “Nee, pacak ngomong rimau sikok ini yo…” ujar tuan putri dengan logat Palembang takut-takut heran “Oi, rimau siapo nian kau ini, apo pulo tujuan datang kesini ni …..”. Lalu rimau (maksudnya harimau) yang diperankan oleh pemain yang memakai masker atau topeng boneka kepala harimau, yang berkostum  setelan jas dan tanjak Palembang, mengaku bahwa dia adalah MASKOT PON XVI SUMSEL 2004. Datang berkunjung untuk memberitahu masyarakat bahwa PON XVI akan diselenggarakan di Provinsi Sumatera Selatan bulan September 2004 dari tanggal sekian sampai sekian.    Lalu berceritalah dia tentang persiapan dan kesiapan Sumsel sebagai tuan rumah. Stadion sudah dibangun lengkap, sarana / prasarana olahraga lainnya maupun akomodasi dan transportasi siap, pokoknya semua siap. Atlit, dan official / wasit serta tamu undangan dipersilahkan datang…. Pokoknya Sumsel akan menjadi tuan rumah yang baik …. dan seterusnya …. dan seterusnya.
Tentu pesan informasi tadi, bukan seperti ceramah. Ia dilarutkan dalam cerita utamanya, tanpa merusak estetika seni dari kesenian itu sendiri. Penyajian atau sisipan / diseminasi informasinya mungkin hanya “sekilas”, karena memang fungsi utamanya tontonan / hiburan. Tapi paling tidak apa yang di sajikan sekilas itu ; bahkan kelihatan seperti main-main, dapat memberikan kesadaran (awareness) mengenai suatu topik atau permasalahan. Dewasa ini beragam jenis media tradisional, bisa saja berbicara soal “ Sumsel Lumbung Pangan dan Energi”, bisa juga bercerita “Pemberantasan Narkoba” atau “Rencana Pembangunan Musi III” atau issu lain yang sedang berkembang.
          Lalu apa pengertian Media Tradisional itu ?
          Pada pertemuan komunitas dan peminat / pemerhati media tradisional  yang diadakan dan Kementrian Kominfo (Jakarta, Juli 2003) disebutkan “Media tradisional pada dasarnya adalah kesenian tradisional yang tumbuh, hidup dan berkembang didalam masyarakat, bersifat hiburan, yang memancarkan nilai-nilai agama (religion), kepercayaan (belief), kebiasaan (folkways) tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Suatu masyarakat, dimana kesenian tradisional dipengaruhi oleh perkembangan tradisi masyarakat itu sendiri”.
          Terus terang, penulis belum tahu persis jumlah kesenian / media tradisional yang ada di Sumsel, apalagi jumlah grup / kelompoknya. Tapi diseluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke  (tahun 1978) pernah tercatat ada sekitar 512 jenis kesenian, dengan sekitar 25 ribuan grup. Menyebut dari sekian banyak jenis kesenian  tradisional tersebut antara lain : angguk, bakaba, bangsawan, calung, dagelan, dul muluk, doger, gambus, gamelan, janger, karawitan, kuda lumping, macapat dan mamanda. Kemudian ada : ketoprak, kerinok, komik, ludruk, lenong, kasidahan, musik keroncong dan orkes melayu. Adapula beragam seni pedalangan / pewayangan, ada pula reog, ada rebana, randai, rai-rai, sandiwara, teater, tadut dan aneka jenis kesenian tari-tarian. Adapula wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang Palembang. Berbagai bentuk kesenian nyanyian, pantun, seni bertutur bahkan ”sahilinan”. Dan terus masih banyak lagi. Sebagian mungkin sudah hilang, sebagian mungkin masih ada tapi hidupnya megap-megap kalah bersaing dengan kesenian modern yang mengglobal menerjang sampai ke mana-mana. Sebagian mencoba tetap eksis karena merasa ini adalah warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.
          Untuk itulah ditingkat nasional sekarang telah dibentuk wadah penghimpun seluruh komunitas (masyarakat) pelaku media tradisional bernama “Forum Komunikasi Media Tradisional” yang disingkat FK-METRA yang di aktakan tanggal 5 Desember 2005. Forum akan beroperasional secara nasional, jadi ada juga FK Metra tingkat Provinsi di masing –masing Provinsi dan ada pula kepengurusan di tingkat Kabupaten / Kota.
          Visi  FK-METRA seperti terbaca pada booklet profilnya adalah “Lestari dan berkembangnya seni budaya nasional menuju terwujudnya koordinasi dan keterpaduan komunitas (masyarakat) kesenian tradisional agar dapat menjadi media tradisional sebagai wahana penyebaran informasi pendidikan dan hiburan nasional, sekaligus menjadi perekat bangsa dan menjadi tuan rumah dinegeri sendiri”
          Sedangkan MISI yang diembannya adalah :
1.     Mengusahakan agar kesenian Tradisional dapat berperan menjadi media tradisional.
2.     Menjalin kerjasama dengan pemerintah dan non pemerintah, agar media tradisional dapat berperan dalam pembangunan.
3.     Melaksanakan pendidikan, pelatihan, pengkajian dan pemberdayaan sehingga media tradisional menunjukkan fungsi dan peranannya.
4.     Mengadakan hubungan yang harmonis antara sesama komunitas media tradisional, baik pusat dengan daerah, maupun daerah dengan daerah lain.
5.     Mengembangkan dan memanfaatkannya dan menjadikannya tuan rumah di negeri sendiri.
Terbentuknya forum komunikasi bagi komunitas media tradisional di tingkat pusat serta gagasan serta harapan agar setiap provinsi membentuk kepengurusan ditingkat daerah (Provinsi/Kab/Ko), kemudian direspon secara positif oleh daerah, karena wadah ini penting untuk mewadahi berbagai komunitas  berbagai pertunjukan rakyat tradisional warisan budaya bangsa. Dengan terbentuknya wadah  forum komunikasi media tradisional tingkat provinsi terwujud, berarti “sikok” lagi yang bakal mengurusi secara khusus kehidupan media tradisional di daerah ini. Wujud wadah, sederhana saja. Dengan para pengurus diambilkan dari kalangan komunitas sendiri, bisa juga ditambah dengan para pakar/pengamat seni budaya dan person yang peduli serta punya komitmen untuk menumbuh kembangkan seni budaya warisan bangsa. Dalam struktur organisasi forum sedapat mungkin ada bidang/seksi yang menangani SDM, begitu juga bidang/seksi  pemberian akses serta promosi sangat perlu, sehingga beragam media tradisional dapat ditampilkan secara teratur dan berkesinambungan baik di pagelaran/festival, maupun kesempatan tampil diberbagai media, termasuk di radio dan di televisi lokal. Dengan demikian anggota merasakan langsung keberadaan wadah, dan tidak menjadi wadah diatas kertas saja. FK-METRA sebagai terlihat di AD / ART nya tidak main politik-politikan, karena memang bersifat non-politik, non-diskriminatif yang menampung keanekaragaman potensi seni budaya bangsa di Media Tradisional.. Forum ini berikonsentrasi hanya untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan kesenian/media tradisional sesuai visi dan misinya yang disebut diatas tadi. Itu bae lah lebih dari  cukup.
Alhamdulillah gagasan yang bergulir sejak sekitar setahun lalu itu, mendapat tanggapan positif dari beberapa kalangan. Badan Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Prov. Sumsel sebagai instansi pemerintah Provinsi yang sangat berkepentingan dalam pembinaan dan pemanfaatannya dalam diseminasi informasi memberikan dukungan positif.
 Lalu, Kepala Badan Komunikasi dan Informatika Prov. Sumsel yang baru Ir. Permana, MMA bulan April 2006 memfasilitasi pertemuan pembentukan wadah forum tersebut. Mengajak  Dewan Kesenian, para pakar, tokoh masyarakat, tokoh paguyuban adat/etnis yang dapat memberikan sumbangan pemikiran. Tidak lupa mengajak a.l. tokoh budaya H. Djohan Hanafiah, pakar/pemerhati Drs. Ismail Djalili,  seniman, pelaku seni budaya, komunitas media tradisional, serta tokoh-tokoh paguyuban jenis kesenian / media tradisional yang ada, karena mereka inilah “deyut nadi” dunia berkesenian itu, akhirnya terbentuklah Kepengurusan  FK-METRA Provinsi  Sumatera Selatan pada tanggal 20 April lalu.Terpilih  sebagai Ketua Umum FK Metra Provinsi Sumsel priode 2006 - 2011              HR Hariono, SE, seorang tokoh yang sudah dikenal di daerah ini  Kepengurusan  baru periode tahun 2006 - 2007 tersebut,  kemudian dikukuhkan oleh Gubernur Ir. Syahrial Oesman  pada tanggal 28 April 2006.  Sekarang menyusul Kabupaten dan Kota memberikan respons, antara lain Kabupaten Muara Enim dan Kotamadya Palembang sudah membentuk kepengurusan dan tinggal pelantikan. Selamat FK Metra !!.
 Masyarakat banyak, khususnya seluruh komunitas seni tradisional berharap banyak semoga forum dapat berperan besar ikut melestarikan, menumbuh kembangkan kesenian tradisional, sehingga  berbagai jenis kesenian warisan budaya bangsa bukan saja menjadi tontonan / hiburan yang memang  disenangi masyarakat, tapi sekaligus menjadi tuntunan yang bagus bagi masyarakat. Semoga. ****(12/03/2007)


Sabtu, 23 November 2013

PEMBINAAN KELOMPOK INFORMASI MASYARAKAT (KIM)

* Dalam Era Demokrasi dan Otonomi, informasi sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan yang akan mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar menjadi cerdas, berpengetahuan, trampil dan mandiri sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

* Oleh sebab itu perlu dibentuk wadah yg diakui publik, berupa Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) yang berperan sebagai agen informasi ditengah tengah masyarakat yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dengan masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah secara horizontal.

* KIM sekarang ini merupakan transformasi dari KELOMPENCAPIR, sesuai dengan Peraturan Menkominfo No. 08 TAHUN 2010 tentang Pedoman Pengembangan dan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial (tgl 1 Juni 2010).

* Pengertian KELOMPOK INFORMASI MASYARAKAT tsb :
Kelompok Informasi Masyarakat atau Kelompok sejenisnya adalah kelompok yang dibentuk oleh, dari dan untuk masyarakat secara mandiri dan kreatif yang aktifitasnya melakukan pengelolaan informasi dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan nilai  tambah.

* kegiatan atau AKTIFITAS yg diharapkan dari KIM adalah  A D I N D A........

A --------- Akses informasi
D --------- Diskusi tentang informasi
I  --------- Implementasi informasi yang diperoleh
N --------  Networking (jaringan kelembagaan)
D -------- Diseminasi (seleksi, pengolahan dan penyebaran informasi)
A -------- Aspirasi (penyerap dan pengatur aspirasi masyarakat).




Jumat, 22 November 2013

JALAN JAHAT.......

Di Palembang sini, kadang2 orang dari luar heran mengapa jalan berlobang atau becek seperti ini dikatakan "JALAN JAHAT"......? Ha ha ha itu sekedar sebutan saja untuk menunjukkan benda yg keadaannya misalnya sedikit rusak....jadi bukan jahat dalam arti sebenarnya lho


Selasa, 19 November 2013

TAKUT YANG DISAMPAIKAN TIDAK SESUAI DENGAN PERBUATAN


       Pagi Jum’at itu sudah pukul sembilan, Mang Mat baru saja mau mengeluarkan sepeda-motornya hendak ke Kota ada sedikit urusan, ketika telepon di rumahnya berdering.  Diseberang sana terdengar suara Aman pengurus Masjid di kampungnya :
       “Assalamu‘alaikum, Mang. Mang Mat…. imam dan khotib Jum’atan hari ini berhalangan datang.  Pacak dak Mamang nyerep (menggantikan) beliau  kagek ?”
      “Ustadz Soleh bae,  makmano….?”
      “Beliau justru yang minta Mamang, karena dia sudah bertugas  dua jum’at yang lalu…”
      “Payoo… kalu mak itu….. insyaallah”.
Mang Mat pun jadi sedikit kelabakan, mana mau pergi, mana mau menyiapkan bahan untuk khotbah nanti. Maklumlah, sebagai Khotib “Pemula” alias masih “anak bawang” yang ”jam terbang”nya rasanya belum sampai 10 kali, dia belum bisa tampil spontan.  Kalau tahu jadwalnya – itupun hampir seluruhnya di Masjid kampung dewek –sehari dua hari sebelumnya biasanya latihan dulu. Naskah yang diambilnya dari beberapa buku kumpulan naskah Khotbah Jum’at, biasanya dibacanya berulang-ulang dulu layaknya seperti tampil betulan didepan jama’ah. Supaya nanti tidak “belepotan”, fikirnya, malu kan tampil nanti tidak bagus ?
       Begitu juga cara penyampaian khotbah, sering beliau memperhatikan Imam/Khotib yang kondang atau senior. Senang Mamat melihat “gaya” masing-masing khotib tadi menyampaikan khotbah yang memukau.  Ada yang penyampaiannya “lurus-lurus” seperti berbicara biasa saja,  ada yang menyampaikan dengan gaya rhetorika yang memukau.  Ada yang “lembut”, ada pula “lantang”, dsb.  Ya, siapa tahu nanti dapat menjadi khotib yang bagus seperti mereka.
        Pernah suatu Jum’at, setelah doa selesai, dan jamaah sebagian sudah pulang.   Pak Soleh sahabat seniornya, ustadz yang juga Guru Sekolah Aliyah menghampiri Mang Mat yang masih zikir.
       “Mat, maaf yo, Mat… awak  tadi agak “over” menyampaikan khotbah dengan gaya seperti itu “
       “Iyo, ‘tadz….”
       “Awak tadi menyampaikan khotbah pecak gaya penyajian orang mengikuti Lomba Pidato…. masih untung tidak ada yang tertawa terkekeh mendengar  ucapan dan gaya  khotbahmu, kalau itu terjadi bisa-bisa Jum’at bisa rusak”
       “Iyo, .tadz…” kata Mang Mat tersipu malu.   Mungkin karena terlalu ingin bergaya rhetorica (gaya pidato) yang dipelajari di sekolah dulu, sehingga tangan Mang Mat tadi  ada sekali sekali “bermain”, sesekali menatap kadang kekiri kadang kekanan kepada jamaah.  Begitu juga Ustadz Soleh mengeritik karena si Mang Mat membacakan terjemahan Ayat seperti gaya membaca puisi….. oh Ya Allah , astaghfirullah…..yang baru belajar menjadi khotib ini masih banyak nian kekurangannya. Padahal benar apa yang dikatakan ustadz sahabatnya,  bukankah Khotbah itu merupakan bagian dari Sholat Jum’at itu sendiri yang harus dijaga ketertiban dan kekhusyukannya ?
          Bukan itu saja. Akhir-akhir ini Mang Mat agak takut takut  juga menyampaikan khotbah Jum’at. Bukan takut  karena tidak siap, sehingga tampil grogi. Ya, memang kadang takut juga kalau tidak bisa menemukan bahan khotbah yang aktual dengan masyarakat, maklum lah masih pemula.
        Tapi yang paling ditakutkan oleh Mang Mat akhir-akhir ini adalah tanggung jawab seorang yang diberi amanat untuk menyampaikan khotbah itu. Pada diri seorang Khotib tentulah dituntut keteladanan. Ia harus selaras apa yang diucapkannya dalam khotbah dengan perbuatan dan perilakunya sehari-hari. Begitulah kira inti yang diperolehnya ketika bersama anak muda mengikuti Penataran Calon Da’i dan Khotib dulu.

Itu yang membuat Mang Mat tambah kelabakan kalau bertugas seperti siang Jum’at itu.  Mang Mat tidak mau cuma jadi  burung beo, yang bisa ngomong tapi tidak melaksanakan apa yang dianjurkannya. Berdosa !!
          Bukankah Allah SWT telah berfirman : “Yaa ayyuhalladzina aamanuu lima taquuluuna maa laa taf’aluun. Kaburo maqtan indallaahi an taquuluu maa laa taf’aluun”.  Yang terjemahannya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat ?. Amat besar kebencian disisi Allah, karena kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat”.  (Ash-Shaf : 2-3).
          Dan ketika Mang Mat pulang dari Kota, kira-kira pukul setengah dua belas lebih, dia mantap menuju Masjid. Membawa naskah Khotbah Jum’at dengan memilih topik yang sederhana bae, namun insyaallah bisa diamalkan dalam kesehariannya.

(Masatif Ali Zainal) (Perumnas, 03/07/2007).