MEDIA TRADISIONAL : TONTONAN SEKALIGUS
TUNTUNAN, SEKARANG SUDAH PUNYA WADAH
FORUM
Drs. Masatif Ali. ZA
Wakil Sekretaris I Forum Komunikasi
Media Tradisional (FK METRA) Sumsel.
Sebagai
“Wong Sumsel”, senang juga sedikit melihat kehidupan “berkesenian” menampakkan
geliatnya kembali. Setidaknya dapat dilihat beberapa waktu terakhir ini, satu
dua kali pagelaran, festival, pertunjukan seni budaya atau apresiasi seni
diadakan. Ada festival lagu daerah, pergelaran Tadut, “Dul Muluk” atau Reog,
bahkan “Barongsay” seni tradisional warga keturunan pun muncul lagi. Bahkan
ada sekolah di kota ini punya grup kesenian media tradisional “Dul Muluk” dan
sekolah lain mengadakan pelatihan seni teater dsb.
Berbagai aktivitas pergelaran seni
budaya itu, walaupun mungkin frekuensinya bisa dihitung dengan jari dua
belah tangan, ditambah mulai tampaknya
berbagai jenis kesenian tradisional muncul di televisi / televisi lokal, serta
adanya tulisan kolom dimedia cetak lokal, setidaknya menyadarkan kita bahwa
kesenian tradisional masih ada, masih hidup, masih ada nyawanya. Aneka ragam
jenis-jenis kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat yang komunikatif, yang ada dialog, ada unsur bertutur atau
bersifat teater sangat perlu dihidupkan, ditumbuh kembangkan sebagai warisan
budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Apalagi kesenian tradisional yang
komunikatif yang kemudian disebut “MEDIA TRADISIONAL” mempunyai potensi
disisipi pesan-pesan tertentu atau itulah sekarang ini untuk diseminasi informasi.
Penyampaian (penyajian) pesan
informasi yang disisipkan secara halus dan larut dalam cerita melalui media
tradisional (meminjam istilah “East West Center Hawaii” disebut FOLK MEDIA atau
pertunjukan rakyat) sangat berkesan, halus mempesona dan menyentuh lubuk hati
penontonnya tanpa merasa digurui. Sifatnya
yang langsung, spontan dan akrab dengan penontonnya serta penampilannya yang
tradisional (merakyat) membuat ia disukai. Media tradisional seperti “Dul
Muluk”, berbagai jenis pedalangan / pewayangan serta beraneka ragam kesenian
lainnya memang untuk menghibur (entertaint). Tapi dari hiburan itu penonton
dapat memetik pesan-pesan moral, saripati pengalaman dan falsafah hidup. Itulah
kelebihan (keistimewaan) media tradisional yang tidak dipunyai media lain.
Penulis pernah merasakan hal itu ketika
bersama rekan seniman Nurhasan R (Dewan Kesenian Sumsel) membawa sebuah grup
kesenian tradisional “Dul Muluk” mengadakan pementasan di Medan Sumut bulan
Juni 2004. Pertunjukan itu dalam rangka ikut “Festival Pemberdayaan / Pemanfaatan
Media Pertunjukan Rakyat untuk Diseminasi Informasi”. Diadakan oleh
Kementrian Kominfo bekerjasama dengan Badan Kominfo Prov. Sumut diikuti 9
Provinsi Se-Sumatera dan Bangka Belitung. Tujuannya untuk memotivasi agar
kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat dimasing-masing provinsi dapat
mengambil peran dalam upaya diseminasi (penyebaran) informasi pembangunan.
Ketika itu diluaran ada yang masih menyangsikan apakah
Sumsel sudah siap menjadi tuan rumah event akbar PON XVI 2004, yang
pelaksanannya tinggal 3 bulan lagi ? Lalu terpikir mengapa tidak tema kesiapan
Sumsel melaksanakan PON ini saja yang diangkat dalam pertunjukan kesenian
tradisional di Medan nanti ?
Alhasil tampillah grup kita
dipanggung festival yang diset disebuah Hall Hotel besar dikota itu. Pemainnya
5 orang, dua diantaranya merangkap memainkan alat musik gong dan akordeon.
Seperti khas lakon Dul Muluk, kisah dimulai dengan bercerita seputar “Apo lah kabar didalam Negeri”. Para
pemain saling melontarkan dialog dan joke (kata-kata lucu) dan gerak yang
mengundang tawa. Sampai kemudian suasana cerita menjadi gempar, ketika “seekor”
harimau (macan) masuk, mengaum-ngaum mencari mangsa. Tuan putri yang tengah
bercengkrama dengan sang ayahanda dan ibunda permaisuri menjerit-jerit
ketakutan meminta tolong. Penulis yang kebetulan mendapat tugas “dadakan”
memerankan hulubang berkuda, maju kepentas untuk mengusir harimau. Jangan
dibayangkan lompatan hulubalang itu “beringas” seperti yang kita lihat di film
atau di televisi. Disini gerak kaki kuda harus “nyeni”, maju berapa langkah meliuk kekanan,
maju berapa langkah meliuk kekiri. Barangkali mirip gerak kaki penari latar
lagu-lagu gambus. Ditingkah dengan bunyi-bunyian jadilah menarik bagi
penontonnya. Tapi, eh, ternyata sang “harimau” tadi jinak-jinak saja, tidak
mengganggu, tidak menerkam, dan malahan dapat berbicara. “Nee, pacak ngomong
rimau sikok ini yo…” ujar tuan putri dengan logat Palembang takut-takut heran “Oi, rimau siapo
nian kau ini, apo pulo tujuan datang kesini ni …..”. Lalu rimau (maksudnya
harimau) yang diperankan oleh pemain yang memakai masker atau topeng boneka
kepala harimau, yang berkostum setelan
jas dan tanjak Palembang ,
mengaku bahwa dia adalah MASKOT PON XVI SUMSEL 2004. Datang berkunjung untuk
memberitahu masyarakat bahwa PON XVI akan diselenggarakan di Provinsi Sumatera
Selatan bulan September 2004 dari tanggal sekian sampai sekian. Lalu berceritalah dia tentang persiapan dan
kesiapan Sumsel sebagai tuan rumah. Stadion sudah dibangun lengkap, sarana /
prasarana olahraga lainnya maupun akomodasi dan transportasi siap, pokoknya semua
siap. Atlit, dan official / wasit serta tamu undangan dipersilahkan datang….
Pokoknya Sumsel akan menjadi tuan rumah yang baik …. dan seterusnya …. dan
seterusnya.
Tentu pesan
informasi tadi, bukan seperti ceramah. Ia dilarutkan dalam cerita
utamanya, tanpa merusak estetika seni dari kesenian itu sendiri. Penyajian atau
sisipan / diseminasi informasinya mungkin hanya “sekilas”, karena memang fungsi
utamanya tontonan / hiburan. Tapi paling tidak apa yang di sajikan sekilas itu
; bahkan kelihatan seperti main-main, dapat memberikan kesadaran
(awareness) mengenai suatu topik atau permasalahan. Dewasa ini beragam jenis
media tradisional, bisa saja berbicara soal “ Sumsel Lumbung Pangan dan Energi”,
bisa juga bercerita “Pemberantasan Narkoba” atau “Rencana Pembangunan Musi III”
atau issu lain yang sedang berkembang.
Lalu apa pengertian Media Tradisional
itu ?
Pada pertemuan komunitas dan peminat / pemerhati media
tradisional yang diadakan dan Kementrian
Kominfo (Jakarta, Juli 2003) disebutkan “Media tradisional pada dasarnya adalah
kesenian tradisional yang tumbuh, hidup dan berkembang didalam masyarakat,
bersifat hiburan, yang memancarkan nilai-nilai agama (religion), kepercayaan
(belief), kebiasaan (folkways) tata kelakuan (mores) dan adat istiadat
(custom). Suatu masyarakat, dimana kesenian tradisional dipengaruhi
oleh perkembangan tradisi masyarakat itu sendiri”.
Terus terang, penulis belum tahu
persis jumlah kesenian / media tradisional yang ada di Sumsel, apalagi jumlah
grup / kelompoknya. Tapi diseluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke (tahun 1978) pernah tercatat ada sekitar 512
jenis kesenian, dengan sekitar 25 ribuan grup. Menyebut dari sekian banyak
jenis kesenian tradisional tersebut
antara lain : angguk, bakaba, bangsawan,
calung, dagelan, dul muluk, doger, gambus, gamelan, janger, karawitan, kuda
lumping, macapat dan mamanda. Kemudian ada : ketoprak, kerinok, komik, ludruk, lenong, kasidahan, musik keroncong
dan orkes melayu. Adapula beragam seni pedalangan
/ pewayangan, ada pula reog, ada rebana, randai, rai-rai, sandiwara, teater,
tadut dan aneka jenis kesenian tari-tarian.
Adapula wayang kulit, wayang golek,
wayang beber, wayang Palembang. Berbagai bentuk kesenian nyanyian, pantun, seni bertutur bahkan ”sahilinan”. Dan terus masih banyak
lagi. Sebagian mungkin sudah hilang, sebagian mungkin masih ada tapi hidupnya
megap-megap kalah bersaing dengan kesenian modern yang mengglobal menerjang
sampai ke mana-mana. Sebagian mencoba tetap eksis karena merasa ini adalah
warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Untuk
itulah ditingkat nasional sekarang telah dibentuk wadah penghimpun seluruh
komunitas (masyarakat) pelaku media tradisional bernama “Forum Komunikasi Media
Tradisional” yang disingkat FK-METRA yang di aktakan tanggal 5 Desember 2005. Forum akan beroperasional
secara nasional, jadi ada juga FK Metra tingkat Provinsi di masing –masing
Provinsi dan ada pula kepengurusan di tingkat Kabupaten / Kota .
Visi FK-METRA seperti terbaca pada booklet
profilnya adalah “Lestari dan berkembangnya seni budaya nasional menuju
terwujudnya koordinasi dan keterpaduan komunitas (masyarakat) kesenian
tradisional agar dapat menjadi media tradisional sebagai wahana penyebaran
informasi pendidikan dan hiburan nasional, sekaligus menjadi perekat bangsa dan
menjadi tuan rumah dinegeri sendiri”
Sedangkan MISI yang diembannya adalah
:
1. Mengusahakan agar kesenian
Tradisional dapat berperan menjadi media tradisional.
2. Menjalin kerjasama dengan
pemerintah dan non pemerintah, agar media tradisional dapat berperan dalam
pembangunan.
3. Melaksanakan pendidikan,
pelatihan, pengkajian dan pemberdayaan sehingga media tradisional menunjukkan
fungsi dan peranannya.
4. Mengadakan hubungan yang
harmonis antara sesama komunitas media tradisional, baik pusat dengan daerah,
maupun daerah dengan daerah lain.
5.
Mengembangkan dan memanfaatkannya dan
menjadikannya tuan rumah di negeri sendiri.
Terbentuknya
forum komunikasi bagi komunitas media tradisional di tingkat pusat serta gagasan
serta harapan agar setiap provinsi membentuk kepengurusan ditingkat daerah (Provinsi/Kab/Ko),
kemudian direspon secara positif oleh daerah, karena wadah ini penting untuk
mewadahi berbagai komunitas berbagai
pertunjukan rakyat tradisional warisan budaya bangsa. Dengan terbentuknya wadah forum komunikasi media tradisional tingkat
provinsi terwujud, berarti “sikok” lagi yang bakal mengurusi secara khusus
kehidupan media tradisional di daerah ini. Wujud wadah, sederhana saja. Dengan
para pengurus diambilkan dari kalangan komunitas sendiri, bisa juga ditambah
dengan para pakar/pengamat seni budaya dan person yang peduli serta punya
komitmen untuk menumbuh kembangkan seni budaya warisan bangsa. Dalam struktur
organisasi forum sedapat mungkin ada bidang/seksi yang menangani SDM, begitu
juga bidang/seksi pemberian akses serta
promosi sangat perlu, sehingga beragam media tradisional dapat ditampilkan
secara teratur dan berkesinambungan baik di pagelaran/festival, maupun
kesempatan tampil diberbagai media, termasuk di radio dan di televisi lokal.
Dengan demikian anggota merasakan langsung keberadaan wadah, dan tidak menjadi
wadah diatas kertas saja. FK-METRA sebagai terlihat di AD / ART
nya tidak main politik-politikan, karena memang bersifat non-politik, non-diskriminatif
yang menampung keanekaragaman potensi seni budaya bangsa di Media Tradisional..
Forum ini berikonsentrasi hanya untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan
kesenian/media tradisional sesuai visi dan misinya yang disebut diatas tadi. Itu bae lah lebih dari cukup.
Alhamdulillah
gagasan yang bergulir sejak sekitar setahun lalu itu, mendapat tanggapan
positif dari beberapa kalangan. Badan Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Prov.
Sumsel sebagai instansi pemerintah Provinsi yang sangat berkepentingan dalam
pembinaan dan pemanfaatannya dalam diseminasi informasi memberikan dukungan
positif.
Lalu, Kepala Badan Komunikasi dan Informatika
Prov. Sumsel yang baru Ir. Permana, MMA bulan April 2006 memfasilitasi
pertemuan pembentukan wadah forum tersebut. Mengajak Dewan Kesenian, para pakar, tokoh masyarakat,
tokoh paguyuban adat/etnis yang dapat memberikan sumbangan pemikiran. Tidak
lupa mengajak a.l. tokoh budaya H. Djohan Hanafiah, pakar/pemerhati Drs. Ismail
Djalili, seniman, pelaku seni budaya, komunitas
media tradisional, serta tokoh-tokoh paguyuban jenis kesenian / media
tradisional yang ada, karena mereka inilah “deyut nadi” dunia berkesenian itu,
akhirnya terbentuklah Kepengurusan FK-METRA Provinsi
Sumatera Selatan pada tanggal 20 April
lalu.Terpilih sebagai Ketua Umum FK
Metra Provinsi Sumsel priode 2006 - 2011 HR Hariono, SE, seorang tokoh yang
sudah dikenal di daerah ini
Kepengurusan baru periode tahun
2006 - 2007 tersebut, kemudian
dikukuhkan oleh Gubernur Ir. Syahrial Oesman
pada tanggal 28 April 2006. Sekarang menyusul Kabupaten dan Kota memberikan respons,
antara lain Kabupaten Muara Enim dan Kotamadya Palembang sudah membentuk kepengurusan
dan tinggal pelantikan. Selamat FK Metra !!.
Masyarakat banyak, khususnya seluruh komunitas
seni tradisional berharap banyak semoga forum dapat berperan besar ikut
melestarikan, menumbuh kembangkan kesenian tradisional, sehingga berbagai jenis kesenian warisan budaya bangsa bukan
saja menjadi tontonan / hiburan yang
memang disenangi masyarakat, tapi
sekaligus menjadi tuntunan yang bagus
bagi masyarakat. Semoga. ****(12/03/2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar