Minggu, 24 November 2013

 MEDIA TRADISIONAL : TONTONAN SEKALIGUS TUNTUNAN,  SEKARANG SUDAH PUNYA WADAH FORUM

Drs. Masatif Ali. ZA

Wakil Sekretaris I Forum Komunikasi Media Tradisional  (FK METRA) Sumsel.

          Sebagai “Wong Sumsel”, senang juga sedikit melihat kehidupan “berkesenian” menampakkan geliatnya kembali. Setidaknya dapat dilihat beberapa waktu terakhir ini, satu dua kali pagelaran, festival, pertunjukan seni budaya atau apresiasi seni diadakan. Ada festival lagu daerah, pergelaran Tadut, “Dul Muluk” atau Reog, bahkan “Barongsay” seni tradisional warga keturunan pun muncul lagi. Bahkan ada sekolah di kota ini punya grup kesenian media tradisional “Dul Muluk” dan sekolah lain mengadakan pelatihan seni teater dsb.
          Berbagai aktivitas pergelaran seni budaya itu, walaupun mungkin frekuensinya bisa dihitung dengan jari dua belah  tangan, ditambah mulai tampaknya berbagai jenis kesenian tradisional muncul di televisi / televisi lokal, serta adanya tulisan kolom dimedia cetak lokal, setidaknya menyadarkan kita bahwa kesenian tradisional masih ada, masih hidup, masih ada nyawanya. Aneka ragam jenis-jenis kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat yang komunikatif,  yang ada dialog, ada unsur bertutur atau bersifat teater sangat perlu dihidupkan, ditumbuh kembangkan sebagai warisan budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Apalagi kesenian tradisional yang komunikatif yang kemudian disebut “MEDIA TRADISIONAL” mempunyai potensi disisipi pesan-pesan tertentu atau itulah sekarang ini untuk  diseminasi informasi.
          Penyampaian (penyajian) pesan informasi yang disisipkan secara halus dan larut dalam cerita melalui media tradisional (meminjam istilah “East West Center Hawaii” disebut FOLK MEDIA atau pertunjukan rakyat) sangat berkesan, halus mempesona dan menyentuh lubuk hati penontonnya tanpa merasa digurui.  Sifatnya yang langsung, spontan dan akrab dengan penontonnya serta penampilannya yang tradisional (merakyat) membuat ia disukai. Media tradisional seperti “Dul Muluk”, berbagai jenis pedalangan / pewayangan serta beraneka ragam kesenian lainnya memang untuk menghibur (entertaint). Tapi dari hiburan itu penonton dapat memetik pesan-pesan moral, saripati pengalaman dan falsafah hidup. Itulah kelebihan (keistimewaan) media tradisional yang tidak dipunyai media lain.
          Penulis pernah merasakan hal itu ketika bersama rekan seniman Nurhasan R (Dewan Kesenian Sumsel) membawa sebuah grup kesenian tradisional “Dul Muluk” mengadakan pementasan di Medan Sumut bulan Juni 2004. Pertunjukan itu dalam rangka ikut “Festival Pemberdayaan / Pemanfaatan Media Pertunjukan Rakyat untuk Diseminasi Informasi”. Diadakan oleh Kementrian Kominfo bekerjasama dengan Badan Kominfo Prov. Sumut diikuti 9 Provinsi Se-Sumatera dan Bangka Belitung. Tujuannya untuk memotivasi agar kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat dimasing-masing provinsi dapat mengambil peran dalam upaya diseminasi (penyebaran) informasi pembangunan.
          Ketika itu diluaran ada yang masih menyangsikan apakah Sumsel sudah siap menjadi tuan rumah event akbar PON XVI 2004, yang pelaksanannya tinggal 3 bulan lagi ? Lalu terpikir mengapa tidak tema kesiapan Sumsel melaksanakan PON ini saja yang diangkat dalam pertunjukan kesenian tradisional di Medan nanti ?
          Alhasil tampillah grup kita dipanggung festival yang diset disebuah Hall Hotel besar dikota itu. Pemainnya 5 orang, dua diantaranya merangkap memainkan alat musik gong dan akordeon. Seperti khas lakon Dul Muluk, kisah dimulai dengan bercerita seputar “Apo lah kabar didalam Negeri”. Para pemain saling melontarkan dialog dan joke (kata-kata lucu) dan gerak yang mengundang tawa. Sampai kemudian suasana cerita menjadi gempar, ketika “seekor” harimau (macan) masuk, mengaum-ngaum mencari mangsa. Tuan putri yang tengah bercengkrama dengan sang ayahanda dan ibunda permaisuri menjerit-jerit ketakutan meminta tolong. Penulis yang kebetulan mendapat tugas “dadakan” memerankan hulubang berkuda, maju kepentas untuk mengusir harimau. Jangan dibayangkan lompatan hulubalang itu “beringas” seperti yang kita lihat di film atau di televisi. Disini gerak kaki kuda harus “nyeni”, maju berapa langkah meliuk kekanan, maju berapa langkah meliuk kekiri. Barangkali mirip gerak kaki penari latar lagu-lagu gambus. Ditingkah dengan bunyi-bunyian jadilah menarik bagi penontonnya. Tapi, eh, ternyata sang “harimau” tadi jinak-jinak saja, tidak mengganggu, tidak menerkam, dan malahan dapat berbicara. “Nee, pacak ngomong rimau sikok ini yo…” ujar tuan putri dengan logat Palembang takut-takut heran “Oi, rimau siapo nian kau ini, apo pulo tujuan datang kesini ni …..”. Lalu rimau (maksudnya harimau) yang diperankan oleh pemain yang memakai masker atau topeng boneka kepala harimau, yang berkostum  setelan jas dan tanjak Palembang, mengaku bahwa dia adalah MASKOT PON XVI SUMSEL 2004. Datang berkunjung untuk memberitahu masyarakat bahwa PON XVI akan diselenggarakan di Provinsi Sumatera Selatan bulan September 2004 dari tanggal sekian sampai sekian.    Lalu berceritalah dia tentang persiapan dan kesiapan Sumsel sebagai tuan rumah. Stadion sudah dibangun lengkap, sarana / prasarana olahraga lainnya maupun akomodasi dan transportasi siap, pokoknya semua siap. Atlit, dan official / wasit serta tamu undangan dipersilahkan datang…. Pokoknya Sumsel akan menjadi tuan rumah yang baik …. dan seterusnya …. dan seterusnya.
Tentu pesan informasi tadi, bukan seperti ceramah. Ia dilarutkan dalam cerita utamanya, tanpa merusak estetika seni dari kesenian itu sendiri. Penyajian atau sisipan / diseminasi informasinya mungkin hanya “sekilas”, karena memang fungsi utamanya tontonan / hiburan. Tapi paling tidak apa yang di sajikan sekilas itu ; bahkan kelihatan seperti main-main, dapat memberikan kesadaran (awareness) mengenai suatu topik atau permasalahan. Dewasa ini beragam jenis media tradisional, bisa saja berbicara soal “ Sumsel Lumbung Pangan dan Energi”, bisa juga bercerita “Pemberantasan Narkoba” atau “Rencana Pembangunan Musi III” atau issu lain yang sedang berkembang.
          Lalu apa pengertian Media Tradisional itu ?
          Pada pertemuan komunitas dan peminat / pemerhati media tradisional  yang diadakan dan Kementrian Kominfo (Jakarta, Juli 2003) disebutkan “Media tradisional pada dasarnya adalah kesenian tradisional yang tumbuh, hidup dan berkembang didalam masyarakat, bersifat hiburan, yang memancarkan nilai-nilai agama (religion), kepercayaan (belief), kebiasaan (folkways) tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Suatu masyarakat, dimana kesenian tradisional dipengaruhi oleh perkembangan tradisi masyarakat itu sendiri”.
          Terus terang, penulis belum tahu persis jumlah kesenian / media tradisional yang ada di Sumsel, apalagi jumlah grup / kelompoknya. Tapi diseluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke  (tahun 1978) pernah tercatat ada sekitar 512 jenis kesenian, dengan sekitar 25 ribuan grup. Menyebut dari sekian banyak jenis kesenian  tradisional tersebut antara lain : angguk, bakaba, bangsawan, calung, dagelan, dul muluk, doger, gambus, gamelan, janger, karawitan, kuda lumping, macapat dan mamanda. Kemudian ada : ketoprak, kerinok, komik, ludruk, lenong, kasidahan, musik keroncong dan orkes melayu. Adapula beragam seni pedalangan / pewayangan, ada pula reog, ada rebana, randai, rai-rai, sandiwara, teater, tadut dan aneka jenis kesenian tari-tarian. Adapula wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang Palembang. Berbagai bentuk kesenian nyanyian, pantun, seni bertutur bahkan ”sahilinan”. Dan terus masih banyak lagi. Sebagian mungkin sudah hilang, sebagian mungkin masih ada tapi hidupnya megap-megap kalah bersaing dengan kesenian modern yang mengglobal menerjang sampai ke mana-mana. Sebagian mencoba tetap eksis karena merasa ini adalah warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.
          Untuk itulah ditingkat nasional sekarang telah dibentuk wadah penghimpun seluruh komunitas (masyarakat) pelaku media tradisional bernama “Forum Komunikasi Media Tradisional” yang disingkat FK-METRA yang di aktakan tanggal 5 Desember 2005. Forum akan beroperasional secara nasional, jadi ada juga FK Metra tingkat Provinsi di masing –masing Provinsi dan ada pula kepengurusan di tingkat Kabupaten / Kota.
          Visi  FK-METRA seperti terbaca pada booklet profilnya adalah “Lestari dan berkembangnya seni budaya nasional menuju terwujudnya koordinasi dan keterpaduan komunitas (masyarakat) kesenian tradisional agar dapat menjadi media tradisional sebagai wahana penyebaran informasi pendidikan dan hiburan nasional, sekaligus menjadi perekat bangsa dan menjadi tuan rumah dinegeri sendiri”
          Sedangkan MISI yang diembannya adalah :
1.     Mengusahakan agar kesenian Tradisional dapat berperan menjadi media tradisional.
2.     Menjalin kerjasama dengan pemerintah dan non pemerintah, agar media tradisional dapat berperan dalam pembangunan.
3.     Melaksanakan pendidikan, pelatihan, pengkajian dan pemberdayaan sehingga media tradisional menunjukkan fungsi dan peranannya.
4.     Mengadakan hubungan yang harmonis antara sesama komunitas media tradisional, baik pusat dengan daerah, maupun daerah dengan daerah lain.
5.     Mengembangkan dan memanfaatkannya dan menjadikannya tuan rumah di negeri sendiri.
Terbentuknya forum komunikasi bagi komunitas media tradisional di tingkat pusat serta gagasan serta harapan agar setiap provinsi membentuk kepengurusan ditingkat daerah (Provinsi/Kab/Ko), kemudian direspon secara positif oleh daerah, karena wadah ini penting untuk mewadahi berbagai komunitas  berbagai pertunjukan rakyat tradisional warisan budaya bangsa. Dengan terbentuknya wadah  forum komunikasi media tradisional tingkat provinsi terwujud, berarti “sikok” lagi yang bakal mengurusi secara khusus kehidupan media tradisional di daerah ini. Wujud wadah, sederhana saja. Dengan para pengurus diambilkan dari kalangan komunitas sendiri, bisa juga ditambah dengan para pakar/pengamat seni budaya dan person yang peduli serta punya komitmen untuk menumbuh kembangkan seni budaya warisan bangsa. Dalam struktur organisasi forum sedapat mungkin ada bidang/seksi yang menangani SDM, begitu juga bidang/seksi  pemberian akses serta promosi sangat perlu, sehingga beragam media tradisional dapat ditampilkan secara teratur dan berkesinambungan baik di pagelaran/festival, maupun kesempatan tampil diberbagai media, termasuk di radio dan di televisi lokal. Dengan demikian anggota merasakan langsung keberadaan wadah, dan tidak menjadi wadah diatas kertas saja. FK-METRA sebagai terlihat di AD / ART nya tidak main politik-politikan, karena memang bersifat non-politik, non-diskriminatif yang menampung keanekaragaman potensi seni budaya bangsa di Media Tradisional.. Forum ini berikonsentrasi hanya untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan kesenian/media tradisional sesuai visi dan misinya yang disebut diatas tadi. Itu bae lah lebih dari  cukup.
Alhamdulillah gagasan yang bergulir sejak sekitar setahun lalu itu, mendapat tanggapan positif dari beberapa kalangan. Badan Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Prov. Sumsel sebagai instansi pemerintah Provinsi yang sangat berkepentingan dalam pembinaan dan pemanfaatannya dalam diseminasi informasi memberikan dukungan positif.
 Lalu, Kepala Badan Komunikasi dan Informatika Prov. Sumsel yang baru Ir. Permana, MMA bulan April 2006 memfasilitasi pertemuan pembentukan wadah forum tersebut. Mengajak  Dewan Kesenian, para pakar, tokoh masyarakat, tokoh paguyuban adat/etnis yang dapat memberikan sumbangan pemikiran. Tidak lupa mengajak a.l. tokoh budaya H. Djohan Hanafiah, pakar/pemerhati Drs. Ismail Djalili,  seniman, pelaku seni budaya, komunitas media tradisional, serta tokoh-tokoh paguyuban jenis kesenian / media tradisional yang ada, karena mereka inilah “deyut nadi” dunia berkesenian itu, akhirnya terbentuklah Kepengurusan  FK-METRA Provinsi  Sumatera Selatan pada tanggal 20 April lalu.Terpilih  sebagai Ketua Umum FK Metra Provinsi Sumsel priode 2006 - 2011              HR Hariono, SE, seorang tokoh yang sudah dikenal di daerah ini  Kepengurusan  baru periode tahun 2006 - 2007 tersebut,  kemudian dikukuhkan oleh Gubernur Ir. Syahrial Oesman  pada tanggal 28 April 2006.  Sekarang menyusul Kabupaten dan Kota memberikan respons, antara lain Kabupaten Muara Enim dan Kotamadya Palembang sudah membentuk kepengurusan dan tinggal pelantikan. Selamat FK Metra !!.
 Masyarakat banyak, khususnya seluruh komunitas seni tradisional berharap banyak semoga forum dapat berperan besar ikut melestarikan, menumbuh kembangkan kesenian tradisional, sehingga  berbagai jenis kesenian warisan budaya bangsa bukan saja menjadi tontonan / hiburan yang memang  disenangi masyarakat, tapi sekaligus menjadi tuntunan yang bagus bagi masyarakat. Semoga. ****(12/03/2007)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar