Didalam pergaulan sehari-hari
dengan sahabat, rasanya baguslah kalau kita berusaha untuk saling menyenangkan,
misalnya dengan memberikan kata-kata pujian.
Apalagi dalam acara pertemuan yang dihadiri banyak orang. Memuji dan menyapanya shohibul hajat dengan
sapaan hormat. Mungkin memujinya atas prakarsanya mengadakan pertemuan
tersebut, atau memuji prestasi yang dicapainya. Dengan pujian yang tulus,
suasana pertemuan jadi akrab dan menyenangkan.
Sebaliknya, kalau kita sebagai tamu,
bicaranya ketus, mau gagah sendiri, atau bahkan melecehkan, tentu akan
menyakitkan yang punya gawe. Pernah
terjadi, dalam sebuah acara selamatan syukuran, seorang pembicara ingin guyon. Ia ingin membuat lelucon tentang
“kekurangan” sosok wakil tuan rumah yang berbicara sebelumnya. Para tamu dan undangan yang jumlahnya ratusan tertawa gerr
mendengar lawakan.. Tapi tidak bagi bapak yang jadi sasaran “joke” itu. Ia
merah padam mukanya tanda geram, berdiri dan langsung pergi keluar ruangan.
“Saya seumur-umur tidak pernah diolok-olok seperti itu…. saya merasa sangat
dihinakan….”, demikian kira-kira
gerutunya dengan nada tinggi karena marah.
Barangkali,
siapapun akan bereaksi yang sama seperti bapak tadi, seandainya mengalami
situasi yang sama. Siapa yang tak tersinggung, atau marah jika dijadikan bahan
tertawaan didepan orang banyak ? Tapi
kita dapat juga memahami bapak pembicara yang nampaknya ingin menghibur itu,
yakin dia tidak bermaksud menyinggung apalagi menghina. Beliau sebenarnya ingin
membuat suasana pertemuan jadi hidup,
tapi salah kaprah mengemas pesan sehingga menimbulkan efek diluar perkiraannya
! Kalau tadi dipakai kata-kata atau
contoh-contoh yang lebih “hasanah”, dengan memberikan contoh atau
guyonan yang lebih tepat tentu tidak terjadi seperti kisah diatas tadi.
Tapi dasar kita ini. Lebih mudah dan lebih senang melihat kekurangan
orang lain, dari pada melihat kelebihannya. Maka itu kita lebih senang
memanggil sahabat kita Eddy “Item”, walaupun kulitnya tidak hitam betul,
ketimbang menjulukinya Eddy “Ganteng”. Mbakyu tetangga mungkin kita
panggil dengan “Mbakyu Pesek”, padahal kalau mau menyenangkan hatinya
mengapa tidak kita panggil dengan panggilan yang lebih baik ? Pada hal Nabi
kita sudah memberikan contoh panggilan yang baik, bukankah beliau memanggil
isterinya Aisyah dengan panggilan yang menyenangkan “Humairoh” (Yang Pipinya
Kemerah-merahan). ?
Kalaupun memuji kadang-kadang ada
maunya. Seorang sahabat, suatu waktu pernah terjadi MC (Master of Ceremony)
pada acara selamatan syukuran di kediaman Bos baru, menempati rumah dinas. Pada
pengantar kata dia berusaha memuji, menghormat, dan menyapa serta menyebut nama
atasannya. Mungkin sebagian yang mendengar “pidato”nya itu, agak risih juga,
karena setiap kali menyebut nama si-Bos, dia selalu lengkap dengan semua
(title) yang didepan maupun yang dibelakang nama yang panjangnya sekian meter itu. Mungkin ada lima enam kali MC menyapa
beliau dengan lengkap dengan gelar yang banyak itu. Padahal dari sudut “ekonomi
kata” pengulangan penyebutan secara lengkap berulang-ulang itu bisa dianggap
pemborosan kata, dan maaf sedikit suudzon
mungkin ada unsur “menjilat”. Tapi sekali lagi maaf, mungkin itu perasaan picik saya saja. Tapi yang jelas
ada rasa takut kalau-kalau kita keterlaluan memberikan pujian dan memberikan
penghormatan berlebih-lebihan, takut-takut kalau hal itu akan menimbulkan ‘riya’ dan sombong pada
diri sahabat yang dipuji. Takut kalau jadi “medok” hidung sahabat kita itu.
Kalau itu terjadi, jangan-jangan kita juga ikut berdosa.
Lain lagi yang pernah kami alami, ketika
memandu acara selamatan di kampung kami. Seperti biasa, diawali dengan salam Assalamu ‘alaikum, puji syukur
kehadirat Allah SWT, sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW serta keluarga
dan sahabat beliau, saya lalu menyapa tuan rumah dan undangan penting,
tentu lengkap dengan menyebut gelar (titel)
masing-masing. Lalu menerangkan maksud dan tujuan tuan rumah mengadakan hajatan….kali
ini lupa…. saya hanya menyebut “Bapak Fulan” saja tanpa menyebutkan lagi
gelarnya seperti pada sapaan pertama tadi. Nah, pada saat itulah dari tempat
duduknya beliau memberi isyarat dengan tangan kepada saya supaya mendekat.
Terfikir tentu ada tambahan mata acara yang mesti dimasukkan dalam “Tertib
Acara”. Eh, tau-taunya beliau menegur supaya jangan lupa menyebutkan
gelarnya… dan berseloroh, bahwa mendapatkan titel yang disandangnya itu bukan
gampang. Tolong sebutkan gelar beliau itu, itulah inti tegurannya.
Sebagai pembawa acara, tentulah kita
harus menuruti permintaan tuan rumah. Jadilah saya, seperti kawan yang jadi MC
di acara di kediaman Bos, saya pun menjadi latah menyapa dan menyebut nama shohib
ini lengkap dengan gelarnya setiap kali menyebutnya. Terfikir tak ada salahnya
untuk menyenangkan hati orang lain kan
? Walaupun tetap berprinsip, lebih baik kita sajalah yang harus lebih banyak
memberi pujian, dan tidak usah risau apa orang lain mau memuji kita atau tidak.
Nabi Muhammad SAW saja ketika disapa orang dengan penuh penghormatan “Wahai
Orang Baik kami, Putra dari Orang Baik kami, wahai Penghulu kami, Putra
Penghulu kami”, beliau menolak. Apatah lagi kita insan biasa ini. Yang jelas
Allah SWT mengetahui setiap amal baik kita…. Wallahu a’lam…
(pengirim :
Masatif Ali / e-mail : masa_47@walla.com)(28/06/2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar