Kamis, 28 November 2013

PWRI

SUDAHKAH ANDA MENGENAL PWRI ?
     Anda mungkin bertanya apa itu PWRI.....Persatuan Wartawan kah? Oh, bukan....bukan....sebab kalau persatuan untuk para wartawan itu PWI....Nah, ini PWRI, ya ada R nya........PWRI itu singkatan dari “Persatuan Wredatama Republik Indonesia”, persatuan para pensiunan. Kalau PNS Aktif wadahnya KORPRI, maka untuk para pensiunannya PWRI ini......
     Lalu mengapa Wredatama? Dipilih nama ini mungkin klop dengan siapa yang menjadi anggotanya. Wreda (baca: werda) artinya “orang tua”; Tama berasal dari kata “utama”. Jadi WREDATAMA itu artinya “Orang Tua yang Utama”, karena telah lulus, selesai dengan baik, diberhentikan dengan hormat, memasuki masa pensiun sesudah bertahun tahun menunaikan tugasnya sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat.
     PWRI pertama kali dibentuk tahun 1962. Ketika itu, tepatnya tanggal 24 Juli 1962 di Jogyakarta, ketika 17 Organisasi Pensiunan yg sudah ada sebelumnya bersepakat membubarkan diri, lalu membentuk satu wadah yang baru sebagai wadah para pensiunan PNS diseluruh Indonesia.
     Sebagai organisasi “WONG PENSIUNAN”, ia sudah diakui Pemerintah sebagai satu satunya Organisasi Pensiunan yang mewadahi segenap Pensiunan PNS, Pensiunan Karyawan BUMN/BUMD, dan Pensiunan Pejabat Negara, Mantan Kepala dan Perangkat desa, serta Janda / Duda pegawai / pejabat tsb.
     Kepengurusan PWRI ada disemua tingkatan: DI tingkat Pusat, di Provinsi, Kabupaten / Kota, sampai tingkat Kecamatan di seluruh Indonesia.
     Dan satu lagi yang perlu diketahui¸bahwa dalam rangka reformasi maka PB PWRI Pusat telah menyatakan bahwa PWRI merupakan organisasi yang mandiri dan tidak menyalurkan aspirasi politiknya kepada Partai Politik manapun.
DOKTRIN & KODE ETIK PWRI
     Dalam Munas PWRI Tahun 2006, telah ditetapkan DOKTRIN PWRI adalah “TATA TENTERAM KARTA RAHARJA”, sedangkan KODE ETIK PWRI bunyinya :
     Kami warga Persatuan Wredatama Republik Indonesia;
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME;
  2. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
  3. Berbudi luhur, bijaksana, lapang dada, setia kawan, mengutamakan hidup sederhana, dan mandiri:

  1. Bersikap terbuka, gotong royong, meningkatkan kesejahteraan sesama wredatama, dan bekerja sama dengan fihak lain atas persamaan derajat:
  2. Meningkatkan kualitas hidup, seerta mengamalkan pengetahuan bagi pembangunan Negara dan Bangsa.
       Nah itulah sekedar perkenalan singkat dengan PWRI, Persatuan Wredatama Republik Indonesia. DI Kota kami Palembang seperti Kota / Kabupaten lain diseluruh Indonesia, disini juga ada PWRI nya..........
      Bulan Februari 2013 lalu Kepengurusan 5 tahun lalu (2008-2013) telah berahir masa tugasnya, dan kini PWRI KOTA PALEMBANG telah mempunyai Kepengurusan yang baru (Priode 2013-2018)  dan telah dilantik dengan KETUA Drs H Azhari Said. Dalam kepengurusan yang baru ini Ketua dibantu oleh  4 orang Wakil Ketua, Sekretaris / Wakil Sekretaris, Bendahara, dan 7 SEKSI :
1.    Seksi Organisasi
2.    Seksi Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat
3.     Seksi Pelatihan dan Pengembangan SDM
4.     Seksi Usaha dan Koperasi
5.     Seksi Kesejahteraan Sosial dan Kerohanian
6.     Seksi Bantuan Hukum dan Pengaduan
7.     Seksi Hubungan Masyarakat (HUMAS).
Selamat melaksanakan tugasnya kepada seluruh Pengurus PWRI yang baru ini,  mudah mudahan selalu sukses........
(Masatif Ali, November 2013)

     

MEMBERDAYAKAN MEDIA TRADISIONAL UNTUK DISEMINASI INFORMASI

MEMBERDAYAKAN MEDIA TRADISIONAL
UNTUK DISEMINASI INFORMASI



Media Tradisional atau seni pertunjukan rakyat merupakan suatu bentuk atau jenis kesenian tradisional yang hidup dan berkembang didalam masyarakat.  Biasanya, karena ada dialog didalam ceritanya, maka ia cukup komunikatif untuk dititipi (istilahnya diseminasi) pesan-pesan.  Contohnya berbagai seni tutur seperti dongeng, kisah, pantun, jelihiman, senjang atau juga yang berbentuk teater seperti dul muluk, bangsawan, seni pewayangan, ketoprak, ludruk, mamanda, dsb.

Bermacam kesenian tradisional yang komunikatif itu, kadang-kadang menjadi bagian dari acara tradisi.  Dulu, pada masa sebelum kemerdekaan konon katanya, syair Dul Muluk (sebutan untuk “Abdul Muluk”) dibacakan dihadapan tamu/undangan pada acara selamatan khitanan.  Ketika kemudian syair  tersebut menjadi seni teater rakyat, maka pada acara selamatan dikampung-kampung tidak sreg rasanya kalau tidak nanggap Dul Muluk atau wayang.  Memang sekarang sudah jarang, barangkali sudah kalah dengan seni-seni yang lebih modern.  Tapi seni tradisional ini sebagian masih hidup, bahkan sekarang didalam pidato-pidato formal sekalipun, orang berpantun ria untuk menyampaikan pesan kepada audience karena menarik.

Jenis-jenis kesenian yang disebut pertunjukan rakyat sebenarnya banyak sekali jenisnya.  Memang ada yang sudah mati suri, hidup enggan mati tak mau.  Tapi banyak juga yang masih bertahan tertatih tatih menunggu perhatian kita, karena betapapun ia adalah warisan seni budaya bangsa kita, yang sewajarnya dilestarikan.

Punya Potensi
Banyak kelebihan pertunjukan rakyat : sifatnya yang spontan, bentuk tampilan seninya tradisional, akrab dengan penonton membuatnya menarik dan disukai penontonnya.  Karena sifatnya yang komunikatif (bercerita, bertutur, ada dialog) maka jenis kesenian ini mampu dititipi atau disisipi pesan-pesan informasi.  Maka itu jangan kaget kalau ”Khadam” pada teater Dul Muluk atau ”punakawan” pada pagelaran wayang ”ngomong” soal siskamling, posyandu, atau program pembangunan seperti Sumsel Lumbung Pangan dan Energi Nasional atau menyukseskan program pariwisata ”Visit Musi”, event olahraga PON XVI, Islamic Solidarity Games, dsb.

Dimasa dahulu, seni pewayangan yang komunikatif telah dimanfaatkan oleh para wali di Jawa untuk menyebarluaskan Islam.  DR. Pigeud menyatakan  bahwa mite pada masa pra-Islam yang dianggap sakral, oleh para wali justru dipopulerkan dan digubah baru sesuai dengan kebutuhan pengembangan Islam, disamping menggunakan media dakwah.

Diawal-awal kemerdekaan, media tradisional/media pertunjukan rakyat ini menghibur masyarakat, sekaligus menyampaikan pesan-pesan persatuan dan kesatuan bangsa.  Begitu juga pada event pameran (expo) atau pekan raya, biasanya tidak ketinggalan dipergelarkan berbagai atraksi pertunjukan rakyat, sehingga membantu pertunjukan rakyat dapat bertahan, walaupun dengan upaya mandiri (self sufficient).

Kemudian peran media pertunjukan rakyat (pertunjukan/kesenian tradisional) itu merosot.  Penyebab menurunnya peran itu, menurut Paulus Wiratomo (pada Seminar pengkajian pemberdayaan jaringan komunikasi sosial, tahun 2004) antara lain :
  1. Pada zaman Orde Baru, media tradisional lebih banyak direkayasa menjadi corong semata. Apalagi dominasi  media modern dan pemerintah waktu itu yang kurang memberi kesempatan kepada media tradisional untuk mengembangkan diri.
  2. Para elit daerah yang diharapkan ikut mengangkat seni tradisional kurang mendukung.  Sebagian bahkan lebih senang dengan seni budaya kosmopolitan (Barat) dan membiarkan media tradisional itu berkembang sendiri oleh masyarakat kalangan bawah sendiri.
  3. Adanya anggapan yang salah bahwa jenis-jenis kesenian rakyat itu tidak dapat beradaptasi terhadap modernisasi, ketinggalan jaman dan dianggap kolot.  Pada sisi lain, usaha inovasi dan pengembangan terhadap seni tradisi kadang-kadang dianggap ”penyelewengan” dari pakem.
  4. Pemerintah dan masyarakat kurang tertarik karena menganggap seni seperti itu tidak mempunyai ”nilai jual” padahal kalau dikemas dengan baik, sebenarnya kesenian tradisional pun bisa menjadi komoditi yang laku di lingkup nasional bahkan internasional.

Perlu terus pemberdayaan

Alhamdulillah dewasa ini, walau masih tertatih-tatih, sekarang kita mulai  lagi menyaksikan berbagai pagelaran (pementasan) media kesenian pertunjukan rakyat. Sekarang sudah mulai sering lagi kita saksikan misalnya pertunjukan seni teater tradisional ”Dul Muluk” atau ”Bangsawan” di berbagai event, bahkan sering tampil mentas di televisi.  Bahkan kalau kita perhatikan acara-acara hiburan di televisi, termasuk paket program serius seperti masalah kesehatan  pendidikan, dsb. disiarkan dalam bentuk pertunjukan tradisional. Ternyata tayangan seperti itu cukup disenangi masyarakat.

Jadi betul yang dulu dikatakan DR. Alfian, bahwa tidak benar persangkaan umum bahwa media modern (seperti radio, televisi) akan terlepas sama sekali dari komunikasi tradisional atau media tradisional. Namun kita jujur melihat masih ada kelemahan SDM, terutama bagaimana mengemas dan menyajikan informasi menjadi pertunjukan yang bagus dan menarik. Begitu pula masih perlu waktu agar pertunjukan dapat mendiseminasikan informasi tanpa merusak pakem cerita yang sudah baku. Kalau dulu berbagai kesenian  komunikatif itu dapat bercerita soal Keluarga Berencana,  sekarang harusnya dapat pula bicara soal program pembangunan yang makin meningkat.

Tentu perlu dibantu memberdayakannya oleh semua fihak yang terkait melestarikan seni budaya daerah itu.  Pemberdayaan itu merupakan sebuah keharusan. Pemerintah Daerah melalui dinas/instansi terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata dan Seni Budaya, Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi, Dewan Kesenian bahkan Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-METRA) yang sudah ada dibeberapa daerah perlu mengambil langkah pembinaan.  Misalnya mengadakan pelatihan-pelatihan dan pembelajaran untuk meningkatkan kreatifitas berkesenian atau menampilkan pementasan yang bagus dan bermutu terutama bagaimana mengemas pesan-pesan pembangunan (diseminasi informasi) dalam pertunjukan yang menarik.

Berbagai jenis kesenian tradisional, baik yang bersifat teater ataupun bertutur perlu dorongan agar dapat lebih meningkatkan frekuensi maupun kesempatan untuk mengadakan pementasan.  Termasuk bantuan dan fasilitas  agar mereka dapat tampil lebih sering di radio atau televisi swasta.

Dengan demikian siapa tahu nanti, bukan saja seni pewayangan atau seni dul muluk, tapi juga seni jelihiman, tadut atau senjang dan banyak lagi di Sumatera Selatan dapat pula menghibur penontonnya sekaligus menyelipkan pesan (informasi) program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah......


(Masatif Ali, 24 November 2013)

Minggu, 24 November 2013

 MEDIA TRADISIONAL : TONTONAN SEKALIGUS TUNTUNAN,  SEKARANG SUDAH PUNYA WADAH FORUM

Drs. Masatif Ali. ZA

Wakil Sekretaris I Forum Komunikasi Media Tradisional  (FK METRA) Sumsel.

          Sebagai “Wong Sumsel”, senang juga sedikit melihat kehidupan “berkesenian” menampakkan geliatnya kembali. Setidaknya dapat dilihat beberapa waktu terakhir ini, satu dua kali pagelaran, festival, pertunjukan seni budaya atau apresiasi seni diadakan. Ada festival lagu daerah, pergelaran Tadut, “Dul Muluk” atau Reog, bahkan “Barongsay” seni tradisional warga keturunan pun muncul lagi. Bahkan ada sekolah di kota ini punya grup kesenian media tradisional “Dul Muluk” dan sekolah lain mengadakan pelatihan seni teater dsb.
          Berbagai aktivitas pergelaran seni budaya itu, walaupun mungkin frekuensinya bisa dihitung dengan jari dua belah  tangan, ditambah mulai tampaknya berbagai jenis kesenian tradisional muncul di televisi / televisi lokal, serta adanya tulisan kolom dimedia cetak lokal, setidaknya menyadarkan kita bahwa kesenian tradisional masih ada, masih hidup, masih ada nyawanya. Aneka ragam jenis-jenis kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat yang komunikatif,  yang ada dialog, ada unsur bertutur atau bersifat teater sangat perlu dihidupkan, ditumbuh kembangkan sebagai warisan budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Apalagi kesenian tradisional yang komunikatif yang kemudian disebut “MEDIA TRADISIONAL” mempunyai potensi disisipi pesan-pesan tertentu atau itulah sekarang ini untuk  diseminasi informasi.
          Penyampaian (penyajian) pesan informasi yang disisipkan secara halus dan larut dalam cerita melalui media tradisional (meminjam istilah “East West Center Hawaii” disebut FOLK MEDIA atau pertunjukan rakyat) sangat berkesan, halus mempesona dan menyentuh lubuk hati penontonnya tanpa merasa digurui.  Sifatnya yang langsung, spontan dan akrab dengan penontonnya serta penampilannya yang tradisional (merakyat) membuat ia disukai. Media tradisional seperti “Dul Muluk”, berbagai jenis pedalangan / pewayangan serta beraneka ragam kesenian lainnya memang untuk menghibur (entertaint). Tapi dari hiburan itu penonton dapat memetik pesan-pesan moral, saripati pengalaman dan falsafah hidup. Itulah kelebihan (keistimewaan) media tradisional yang tidak dipunyai media lain.
          Penulis pernah merasakan hal itu ketika bersama rekan seniman Nurhasan R (Dewan Kesenian Sumsel) membawa sebuah grup kesenian tradisional “Dul Muluk” mengadakan pementasan di Medan Sumut bulan Juni 2004. Pertunjukan itu dalam rangka ikut “Festival Pemberdayaan / Pemanfaatan Media Pertunjukan Rakyat untuk Diseminasi Informasi”. Diadakan oleh Kementrian Kominfo bekerjasama dengan Badan Kominfo Prov. Sumut diikuti 9 Provinsi Se-Sumatera dan Bangka Belitung. Tujuannya untuk memotivasi agar kesenian tradisional atau pertunjukan rakyat dimasing-masing provinsi dapat mengambil peran dalam upaya diseminasi (penyebaran) informasi pembangunan.
          Ketika itu diluaran ada yang masih menyangsikan apakah Sumsel sudah siap menjadi tuan rumah event akbar PON XVI 2004, yang pelaksanannya tinggal 3 bulan lagi ? Lalu terpikir mengapa tidak tema kesiapan Sumsel melaksanakan PON ini saja yang diangkat dalam pertunjukan kesenian tradisional di Medan nanti ?
          Alhasil tampillah grup kita dipanggung festival yang diset disebuah Hall Hotel besar dikota itu. Pemainnya 5 orang, dua diantaranya merangkap memainkan alat musik gong dan akordeon. Seperti khas lakon Dul Muluk, kisah dimulai dengan bercerita seputar “Apo lah kabar didalam Negeri”. Para pemain saling melontarkan dialog dan joke (kata-kata lucu) dan gerak yang mengundang tawa. Sampai kemudian suasana cerita menjadi gempar, ketika “seekor” harimau (macan) masuk, mengaum-ngaum mencari mangsa. Tuan putri yang tengah bercengkrama dengan sang ayahanda dan ibunda permaisuri menjerit-jerit ketakutan meminta tolong. Penulis yang kebetulan mendapat tugas “dadakan” memerankan hulubang berkuda, maju kepentas untuk mengusir harimau. Jangan dibayangkan lompatan hulubalang itu “beringas” seperti yang kita lihat di film atau di televisi. Disini gerak kaki kuda harus “nyeni”, maju berapa langkah meliuk kekanan, maju berapa langkah meliuk kekiri. Barangkali mirip gerak kaki penari latar lagu-lagu gambus. Ditingkah dengan bunyi-bunyian jadilah menarik bagi penontonnya. Tapi, eh, ternyata sang “harimau” tadi jinak-jinak saja, tidak mengganggu, tidak menerkam, dan malahan dapat berbicara. “Nee, pacak ngomong rimau sikok ini yo…” ujar tuan putri dengan logat Palembang takut-takut heran “Oi, rimau siapo nian kau ini, apo pulo tujuan datang kesini ni …..”. Lalu rimau (maksudnya harimau) yang diperankan oleh pemain yang memakai masker atau topeng boneka kepala harimau, yang berkostum  setelan jas dan tanjak Palembang, mengaku bahwa dia adalah MASKOT PON XVI SUMSEL 2004. Datang berkunjung untuk memberitahu masyarakat bahwa PON XVI akan diselenggarakan di Provinsi Sumatera Selatan bulan September 2004 dari tanggal sekian sampai sekian.    Lalu berceritalah dia tentang persiapan dan kesiapan Sumsel sebagai tuan rumah. Stadion sudah dibangun lengkap, sarana / prasarana olahraga lainnya maupun akomodasi dan transportasi siap, pokoknya semua siap. Atlit, dan official / wasit serta tamu undangan dipersilahkan datang…. Pokoknya Sumsel akan menjadi tuan rumah yang baik …. dan seterusnya …. dan seterusnya.
Tentu pesan informasi tadi, bukan seperti ceramah. Ia dilarutkan dalam cerita utamanya, tanpa merusak estetika seni dari kesenian itu sendiri. Penyajian atau sisipan / diseminasi informasinya mungkin hanya “sekilas”, karena memang fungsi utamanya tontonan / hiburan. Tapi paling tidak apa yang di sajikan sekilas itu ; bahkan kelihatan seperti main-main, dapat memberikan kesadaran (awareness) mengenai suatu topik atau permasalahan. Dewasa ini beragam jenis media tradisional, bisa saja berbicara soal “ Sumsel Lumbung Pangan dan Energi”, bisa juga bercerita “Pemberantasan Narkoba” atau “Rencana Pembangunan Musi III” atau issu lain yang sedang berkembang.
          Lalu apa pengertian Media Tradisional itu ?
          Pada pertemuan komunitas dan peminat / pemerhati media tradisional  yang diadakan dan Kementrian Kominfo (Jakarta, Juli 2003) disebutkan “Media tradisional pada dasarnya adalah kesenian tradisional yang tumbuh, hidup dan berkembang didalam masyarakat, bersifat hiburan, yang memancarkan nilai-nilai agama (religion), kepercayaan (belief), kebiasaan (folkways) tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Suatu masyarakat, dimana kesenian tradisional dipengaruhi oleh perkembangan tradisi masyarakat itu sendiri”.
          Terus terang, penulis belum tahu persis jumlah kesenian / media tradisional yang ada di Sumsel, apalagi jumlah grup / kelompoknya. Tapi diseluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke  (tahun 1978) pernah tercatat ada sekitar 512 jenis kesenian, dengan sekitar 25 ribuan grup. Menyebut dari sekian banyak jenis kesenian  tradisional tersebut antara lain : angguk, bakaba, bangsawan, calung, dagelan, dul muluk, doger, gambus, gamelan, janger, karawitan, kuda lumping, macapat dan mamanda. Kemudian ada : ketoprak, kerinok, komik, ludruk, lenong, kasidahan, musik keroncong dan orkes melayu. Adapula beragam seni pedalangan / pewayangan, ada pula reog, ada rebana, randai, rai-rai, sandiwara, teater, tadut dan aneka jenis kesenian tari-tarian. Adapula wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang Palembang. Berbagai bentuk kesenian nyanyian, pantun, seni bertutur bahkan ”sahilinan”. Dan terus masih banyak lagi. Sebagian mungkin sudah hilang, sebagian mungkin masih ada tapi hidupnya megap-megap kalah bersaing dengan kesenian modern yang mengglobal menerjang sampai ke mana-mana. Sebagian mencoba tetap eksis karena merasa ini adalah warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.
          Untuk itulah ditingkat nasional sekarang telah dibentuk wadah penghimpun seluruh komunitas (masyarakat) pelaku media tradisional bernama “Forum Komunikasi Media Tradisional” yang disingkat FK-METRA yang di aktakan tanggal 5 Desember 2005. Forum akan beroperasional secara nasional, jadi ada juga FK Metra tingkat Provinsi di masing –masing Provinsi dan ada pula kepengurusan di tingkat Kabupaten / Kota.
          Visi  FK-METRA seperti terbaca pada booklet profilnya adalah “Lestari dan berkembangnya seni budaya nasional menuju terwujudnya koordinasi dan keterpaduan komunitas (masyarakat) kesenian tradisional agar dapat menjadi media tradisional sebagai wahana penyebaran informasi pendidikan dan hiburan nasional, sekaligus menjadi perekat bangsa dan menjadi tuan rumah dinegeri sendiri”
          Sedangkan MISI yang diembannya adalah :
1.     Mengusahakan agar kesenian Tradisional dapat berperan menjadi media tradisional.
2.     Menjalin kerjasama dengan pemerintah dan non pemerintah, agar media tradisional dapat berperan dalam pembangunan.
3.     Melaksanakan pendidikan, pelatihan, pengkajian dan pemberdayaan sehingga media tradisional menunjukkan fungsi dan peranannya.
4.     Mengadakan hubungan yang harmonis antara sesama komunitas media tradisional, baik pusat dengan daerah, maupun daerah dengan daerah lain.
5.     Mengembangkan dan memanfaatkannya dan menjadikannya tuan rumah di negeri sendiri.
Terbentuknya forum komunikasi bagi komunitas media tradisional di tingkat pusat serta gagasan serta harapan agar setiap provinsi membentuk kepengurusan ditingkat daerah (Provinsi/Kab/Ko), kemudian direspon secara positif oleh daerah, karena wadah ini penting untuk mewadahi berbagai komunitas  berbagai pertunjukan rakyat tradisional warisan budaya bangsa. Dengan terbentuknya wadah  forum komunikasi media tradisional tingkat provinsi terwujud, berarti “sikok” lagi yang bakal mengurusi secara khusus kehidupan media tradisional di daerah ini. Wujud wadah, sederhana saja. Dengan para pengurus diambilkan dari kalangan komunitas sendiri, bisa juga ditambah dengan para pakar/pengamat seni budaya dan person yang peduli serta punya komitmen untuk menumbuh kembangkan seni budaya warisan bangsa. Dalam struktur organisasi forum sedapat mungkin ada bidang/seksi yang menangani SDM, begitu juga bidang/seksi  pemberian akses serta promosi sangat perlu, sehingga beragam media tradisional dapat ditampilkan secara teratur dan berkesinambungan baik di pagelaran/festival, maupun kesempatan tampil diberbagai media, termasuk di radio dan di televisi lokal. Dengan demikian anggota merasakan langsung keberadaan wadah, dan tidak menjadi wadah diatas kertas saja. FK-METRA sebagai terlihat di AD / ART nya tidak main politik-politikan, karena memang bersifat non-politik, non-diskriminatif yang menampung keanekaragaman potensi seni budaya bangsa di Media Tradisional.. Forum ini berikonsentrasi hanya untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan kesenian/media tradisional sesuai visi dan misinya yang disebut diatas tadi. Itu bae lah lebih dari  cukup.
Alhamdulillah gagasan yang bergulir sejak sekitar setahun lalu itu, mendapat tanggapan positif dari beberapa kalangan. Badan Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Prov. Sumsel sebagai instansi pemerintah Provinsi yang sangat berkepentingan dalam pembinaan dan pemanfaatannya dalam diseminasi informasi memberikan dukungan positif.
 Lalu, Kepala Badan Komunikasi dan Informatika Prov. Sumsel yang baru Ir. Permana, MMA bulan April 2006 memfasilitasi pertemuan pembentukan wadah forum tersebut. Mengajak  Dewan Kesenian, para pakar, tokoh masyarakat, tokoh paguyuban adat/etnis yang dapat memberikan sumbangan pemikiran. Tidak lupa mengajak a.l. tokoh budaya H. Djohan Hanafiah, pakar/pemerhati Drs. Ismail Djalili,  seniman, pelaku seni budaya, komunitas media tradisional, serta tokoh-tokoh paguyuban jenis kesenian / media tradisional yang ada, karena mereka inilah “deyut nadi” dunia berkesenian itu, akhirnya terbentuklah Kepengurusan  FK-METRA Provinsi  Sumatera Selatan pada tanggal 20 April lalu.Terpilih  sebagai Ketua Umum FK Metra Provinsi Sumsel priode 2006 - 2011              HR Hariono, SE, seorang tokoh yang sudah dikenal di daerah ini  Kepengurusan  baru periode tahun 2006 - 2007 tersebut,  kemudian dikukuhkan oleh Gubernur Ir. Syahrial Oesman  pada tanggal 28 April 2006.  Sekarang menyusul Kabupaten dan Kota memberikan respons, antara lain Kabupaten Muara Enim dan Kotamadya Palembang sudah membentuk kepengurusan dan tinggal pelantikan. Selamat FK Metra !!.
 Masyarakat banyak, khususnya seluruh komunitas seni tradisional berharap banyak semoga forum dapat berperan besar ikut melestarikan, menumbuh kembangkan kesenian tradisional, sehingga  berbagai jenis kesenian warisan budaya bangsa bukan saja menjadi tontonan / hiburan yang memang  disenangi masyarakat, tapi sekaligus menjadi tuntunan yang bagus bagi masyarakat. Semoga. ****(12/03/2007)


Sabtu, 23 November 2013

PEMBINAAN KELOMPOK INFORMASI MASYARAKAT (KIM)

* Dalam Era Demokrasi dan Otonomi, informasi sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan yang akan mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar menjadi cerdas, berpengetahuan, trampil dan mandiri sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

* Oleh sebab itu perlu dibentuk wadah yg diakui publik, berupa Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) yang berperan sebagai agen informasi ditengah tengah masyarakat yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dengan masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah secara horizontal.

* KIM sekarang ini merupakan transformasi dari KELOMPENCAPIR, sesuai dengan Peraturan Menkominfo No. 08 TAHUN 2010 tentang Pedoman Pengembangan dan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial (tgl 1 Juni 2010).

* Pengertian KELOMPOK INFORMASI MASYARAKAT tsb :
Kelompok Informasi Masyarakat atau Kelompok sejenisnya adalah kelompok yang dibentuk oleh, dari dan untuk masyarakat secara mandiri dan kreatif yang aktifitasnya melakukan pengelolaan informasi dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan nilai  tambah.

* kegiatan atau AKTIFITAS yg diharapkan dari KIM adalah  A D I N D A........

A --------- Akses informasi
D --------- Diskusi tentang informasi
I  --------- Implementasi informasi yang diperoleh
N --------  Networking (jaringan kelembagaan)
D -------- Diseminasi (seleksi, pengolahan dan penyebaran informasi)
A -------- Aspirasi (penyerap dan pengatur aspirasi masyarakat).




Jumat, 22 November 2013

JALAN JAHAT.......

Di Palembang sini, kadang2 orang dari luar heran mengapa jalan berlobang atau becek seperti ini dikatakan "JALAN JAHAT"......? Ha ha ha itu sekedar sebutan saja untuk menunjukkan benda yg keadaannya misalnya sedikit rusak....jadi bukan jahat dalam arti sebenarnya lho


Selasa, 19 November 2013

TAKUT YANG DISAMPAIKAN TIDAK SESUAI DENGAN PERBUATAN


       Pagi Jum’at itu sudah pukul sembilan, Mang Mat baru saja mau mengeluarkan sepeda-motornya hendak ke Kota ada sedikit urusan, ketika telepon di rumahnya berdering.  Diseberang sana terdengar suara Aman pengurus Masjid di kampungnya :
       “Assalamu‘alaikum, Mang. Mang Mat…. imam dan khotib Jum’atan hari ini berhalangan datang.  Pacak dak Mamang nyerep (menggantikan) beliau  kagek ?”
      “Ustadz Soleh bae,  makmano….?”
      “Beliau justru yang minta Mamang, karena dia sudah bertugas  dua jum’at yang lalu…”
      “Payoo… kalu mak itu….. insyaallah”.
Mang Mat pun jadi sedikit kelabakan, mana mau pergi, mana mau menyiapkan bahan untuk khotbah nanti. Maklumlah, sebagai Khotib “Pemula” alias masih “anak bawang” yang ”jam terbang”nya rasanya belum sampai 10 kali, dia belum bisa tampil spontan.  Kalau tahu jadwalnya – itupun hampir seluruhnya di Masjid kampung dewek –sehari dua hari sebelumnya biasanya latihan dulu. Naskah yang diambilnya dari beberapa buku kumpulan naskah Khotbah Jum’at, biasanya dibacanya berulang-ulang dulu layaknya seperti tampil betulan didepan jama’ah. Supaya nanti tidak “belepotan”, fikirnya, malu kan tampil nanti tidak bagus ?
       Begitu juga cara penyampaian khotbah, sering beliau memperhatikan Imam/Khotib yang kondang atau senior. Senang Mamat melihat “gaya” masing-masing khotib tadi menyampaikan khotbah yang memukau.  Ada yang penyampaiannya “lurus-lurus” seperti berbicara biasa saja,  ada yang menyampaikan dengan gaya rhetorika yang memukau.  Ada yang “lembut”, ada pula “lantang”, dsb.  Ya, siapa tahu nanti dapat menjadi khotib yang bagus seperti mereka.
        Pernah suatu Jum’at, setelah doa selesai, dan jamaah sebagian sudah pulang.   Pak Soleh sahabat seniornya, ustadz yang juga Guru Sekolah Aliyah menghampiri Mang Mat yang masih zikir.
       “Mat, maaf yo, Mat… awak  tadi agak “over” menyampaikan khotbah dengan gaya seperti itu “
       “Iyo, ‘tadz….”
       “Awak tadi menyampaikan khotbah pecak gaya penyajian orang mengikuti Lomba Pidato…. masih untung tidak ada yang tertawa terkekeh mendengar  ucapan dan gaya  khotbahmu, kalau itu terjadi bisa-bisa Jum’at bisa rusak”
       “Iyo, .tadz…” kata Mang Mat tersipu malu.   Mungkin karena terlalu ingin bergaya rhetorica (gaya pidato) yang dipelajari di sekolah dulu, sehingga tangan Mang Mat tadi  ada sekali sekali “bermain”, sesekali menatap kadang kekiri kadang kekanan kepada jamaah.  Begitu juga Ustadz Soleh mengeritik karena si Mang Mat membacakan terjemahan Ayat seperti gaya membaca puisi….. oh Ya Allah , astaghfirullah…..yang baru belajar menjadi khotib ini masih banyak nian kekurangannya. Padahal benar apa yang dikatakan ustadz sahabatnya,  bukankah Khotbah itu merupakan bagian dari Sholat Jum’at itu sendiri yang harus dijaga ketertiban dan kekhusyukannya ?
          Bukan itu saja. Akhir-akhir ini Mang Mat agak takut takut  juga menyampaikan khotbah Jum’at. Bukan takut  karena tidak siap, sehingga tampil grogi. Ya, memang kadang takut juga kalau tidak bisa menemukan bahan khotbah yang aktual dengan masyarakat, maklum lah masih pemula.
        Tapi yang paling ditakutkan oleh Mang Mat akhir-akhir ini adalah tanggung jawab seorang yang diberi amanat untuk menyampaikan khotbah itu. Pada diri seorang Khotib tentulah dituntut keteladanan. Ia harus selaras apa yang diucapkannya dalam khotbah dengan perbuatan dan perilakunya sehari-hari. Begitulah kira inti yang diperolehnya ketika bersama anak muda mengikuti Penataran Calon Da’i dan Khotib dulu.

Itu yang membuat Mang Mat tambah kelabakan kalau bertugas seperti siang Jum’at itu.  Mang Mat tidak mau cuma jadi  burung beo, yang bisa ngomong tapi tidak melaksanakan apa yang dianjurkannya. Berdosa !!
          Bukankah Allah SWT telah berfirman : “Yaa ayyuhalladzina aamanuu lima taquuluuna maa laa taf’aluun. Kaburo maqtan indallaahi an taquuluu maa laa taf’aluun”.  Yang terjemahannya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat ?. Amat besar kebencian disisi Allah, karena kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat”.  (Ash-Shaf : 2-3).
          Dan ketika Mang Mat pulang dari Kota, kira-kira pukul setengah dua belas lebih, dia mantap menuju Masjid. Membawa naskah Khotbah Jum’at dengan memilih topik yang sederhana bae, namun insyaallah bisa diamalkan dalam kesehariannya.

(Masatif Ali Zainal) (Perumnas, 03/07/2007). 
      

       

BELIAU MINTA DISEBUTKAN GELARNYA

            Didalam pergaulan sehari-hari dengan sahabat, rasanya baguslah kalau kita berusaha untuk saling menyenangkan, misalnya dengan memberikan kata-kata pujian.  Apalagi dalam acara pertemuan yang dihadiri banyak orang.  Memuji dan menyapanya shohibul hajat dengan sapaan hormat. Mungkin memujinya atas prakarsanya mengadakan pertemuan tersebut, atau memuji prestasi yang dicapainya. Dengan pujian yang tulus, suasana pertemuan jadi akrab dan menyenangkan.

          Sebaliknya, kalau kita sebagai tamu, bicaranya ketus, mau gagah sendiri, atau bahkan melecehkan, tentu akan menyakitkan yang punya gawe. Pernah terjadi, dalam sebuah acara selamatan syukuran, seorang pembicara ingin guyon. Ia ingin membuat lelucon tentang “kekurangan” sosok wakil tuan rumah yang berbicara sebelumnya. Para tamu dan undangan yang jumlahnya ratusan  tertawa gerr mendengar lawakan.. Tapi tidak bagi bapak yang jadi sasaran “joke” itu. Ia merah padam mukanya tanda geram, berdiri dan langsung pergi keluar ruangan. “Saya seumur-umur tidak pernah diolok-olok seperti itu…. saya merasa sangat dihinakan….”, demikian  kira-kira gerutunya dengan nada tinggi karena marah.

         Barangkali, siapapun akan bereaksi yang sama seperti bapak tadi, seandainya mengalami situasi yang sama. Siapa yang tak tersinggung, atau marah jika dijadikan bahan tertawaan didepan orang banyak ?  Tapi kita dapat juga memahami bapak pembicara yang nampaknya ingin menghibur itu, yakin dia tidak bermaksud menyinggung apalagi menghina. Beliau sebenarnya ingin membuat suasana pertemuan  jadi hidup, tapi salah kaprah mengemas pesan sehingga menimbulkan efek diluar perkiraannya ! Kalau tadi dipakai kata-kata atau  contoh-contoh yang lebih “hasanah”, dengan memberikan contoh atau guyonan yang lebih tepat tentu tidak terjadi seperti kisah diatas tadi.

         Tapi dasar kita ini. Lebih mudah dan lebih senang melihat kekurangan orang lain, dari pada melihat kelebihannya. Maka itu kita lebih senang memanggil sahabat kita Eddy “Item”, walaupun kulitnya tidak hitam betul, ketimbang menjulukinya Eddy “Ganteng”. Mbakyu tetangga  mungkin kita  panggil dengan “Mbakyu Pesek”, padahal kalau mau menyenangkan hatinya mengapa tidak kita panggil dengan panggilan yang lebih baik ? Pada hal Nabi kita sudah memberikan contoh panggilan yang baik, bukankah beliau memanggil isterinya Aisyah dengan panggilan yang menyenangkan “Humairoh” (Yang Pipinya Kemerah-merahan). ?

       Kalaupun memuji kadang-kadang ada maunya. Seorang sahabat, suatu waktu pernah terjadi MC (Master of Ceremony) pada acara selamatan syukuran di kediaman Bos baru, menempati rumah dinas. Pada pengantar kata dia berusaha memuji, menghormat, dan menyapa serta menyebut nama atasannya. Mungkin sebagian yang mendengar “pidato”nya itu, agak risih juga, karena setiap kali menyebut nama si-Bos, dia selalu lengkap dengan semua (title) yang didepan maupun yang dibelakang nama yang panjangnya sekian meter itu. Mungkin ada lima enam kali MC menyapa beliau dengan lengkap dengan gelar yang banyak itu. Padahal dari sudut “ekonomi kata” pengulangan penyebutan secara lengkap berulang-ulang itu bisa dianggap pemborosan kata, dan maaf sedikit suudzon mungkin ada unsur “menjilat”. Tapi sekali lagi maaf, mungkin  itu perasaan picik saya saja. Tapi yang jelas ada rasa takut kalau-kalau kita keterlaluan memberikan pujian dan memberikan penghormatan berlebih-lebihan, takut-takut kalau hal  itu akan menimbulkan ‘riya’ dan sombong pada diri sahabat yang dipuji. Takut kalau jadi “medok” hidung sahabat kita itu. Kalau itu terjadi, jangan-jangan kita juga ikut berdosa.







       Lain lagi yang pernah kami alami, ketika memandu acara selamatan di kampung kami. Seperti biasa, diawali dengan  salam Assalamu ‘alaikum, puji syukur kehadirat Allah SWT, sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau, saya lalu menyapa tuan rumah dan undangan penting, tentu  lengkap dengan menyebut gelar (titel) masing-masing. Lalu menerangkan maksud dan tujuan tuan rumah mengadakan hajatan….kali ini lupa…. saya hanya menyebut “Bapak Fulan” saja tanpa menyebutkan lagi gelarnya seperti pada sapaan pertama tadi. Nah, pada saat itulah dari tempat duduknya beliau memberi isyarat dengan tangan kepada saya supaya mendekat. Terfikir tentu ada tambahan mata acara yang mesti dimasukkan dalam “Tertib Acara”. Eh, tau-taunya  beliau menegur supaya jangan lupa menyebutkan gelarnya… dan berseloroh, bahwa mendapatkan titel yang disandangnya itu bukan gampang. Tolong sebutkan gelar beliau itu, itulah inti tegurannya.

        Sebagai pembawa acara, tentulah kita harus menuruti permintaan tuan rumah. Jadilah saya, seperti kawan yang jadi MC di acara di kediaman Bos, saya pun menjadi latah menyapa dan menyebut nama shohib ini lengkap dengan gelarnya setiap kali menyebutnya. Terfikir tak ada salahnya untuk menyenangkan hati orang lain kan ? Walaupun tetap berprinsip, lebih baik kita sajalah yang harus lebih banyak memberi pujian, dan tidak usah risau apa orang lain mau memuji kita atau tidak. Nabi Muhammad SAW saja ketika disapa orang dengan penuh penghormatan “Wahai Orang Baik kami, Putra dari Orang Baik kami, wahai Penghulu kami, Putra Penghulu kami”, beliau menolak. Apatah lagi kita insan biasa ini. Yang jelas Allah SWT mengetahui setiap amal baik kita…. Wallahu a’lam…

(pengirim : Masatif Ali / e-mail : masa_47@walla.com)(28/06/2007)