KARIKATUR YANG
BEROLOK-OLOK “WAHANA SENYUM KRITIK SEHAT”
Oleh : Masatif Ali ZA
Sungguh menggelitik
olok-olok karikatur di harian ini, Sabtu 8 April lalu. Kalau tidak sedang
berpuasa rasanya banyak pembaca yang tertawa terkekeh atau paling tidak senyum-senyum
sendiri. Betapa tidak lucu ! Disana digambarkan seorang pria setengah baya
tidak sabaran lagi menunggu beduk berbuka puasa. Jam didinding baru menunjukkan
pukul 5.10 sore. Tapi matanya terus melirik ke meja dimana telah tersedia
hidangan “perbukaan” yang lezat dan masih ngebul. Ia larak-lirik sebentar,
kalau-kalau ada orang melihat—dan hupp—tangannya bergerak ke piring – Belum
sampai -- ada teriakan dari luar :
“Bataaallll !!”.
Lucu memang
gambar karikatur itu. Dengan jitu ia menyindir kita yang walaupun sedang
menjalankan puasa tapi sering-sering masih terkenang-kenang dengan makanan
melulu. Apa yang dilukiskan oleh karikatur itu walaupun tidak persis, mungkin
saja dalam bentuk lain terjadi dalam masyarakat kita. Itulah gaya karikatur
menerjemahkan berbagai permasalahan dalam masyarakat, yang tentu saja dengan
penuh humor !
Bila dikaji, apa
yang ingin diungkapkan oleh sang karikaturis, ia ingin menyindir bahwa
perhatian kita kepada soal makan dan makanan selama bulan puasa ini sangat besar.
Bayangkan, kalau pada hari-hari biasa lauk pauk cukup tempe, tahu atau ikan,
maka dalam bulan puasa ini makanan untuk berbuka kalau maunya ada menu dari
bahan daging sapi atau ayam. Minumannya tak boleh cuma teh atau kopi, tapi
mestilah ditambah es sirop¸es campur dawet atau cincau, ditambah lagi kolak
atau kue-kue khusus. Buah-buahan pencuci mulut tak cukup pisang atau pepaya
saja, tapi ditambah lagi dengan dua tiga macam lagi termasuk kurma yang katanya
didatangkan dari Arab ! Pokoknya asyik kalau sedang berbuka !
Lalu, ibu-ibu
pun pusing tujuh keliling memikirkan “membengkaknya” uang belanja dapur setiap
kali kepasar, saking untuk memenuhi “nafsu” untuk mengistimewakan bulan puasa.
Bapak-bapakpun pontang panting mencari tambahan uang untuk puasa.
Penulis lalu
teringat karikaktur yang hampir serupa ditahun lima puluhan, dalam surat kabar
yang terbit di Palembang (saya lupa nama korannya). Waktu itu bulan puasa juga
dan dan beberapa hari lagi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Disana dilukiskan
seorang suami tertegun-tegun melihat “belanjaan” isterinya yang luar biasa. Walaupun
sudah berselang 30 tahun, penulis masih ingat lebih kurang dialog sindiran
dalam bahasa daerah Palembang : “Berapo
metuke selawat citak tuh, ibok-nyo !?” (“Berapa rupiah mengeluarkan uang
belanjanya, Bu !?”). Lalu dijawab ketus oleh sang isteri : “Oii Abah-nyo.....sekali setahun nak makan lemak !?” (“Oii, Pak,
sekali setahun mau makan yang enak-enak !?”.
Sambil senyum-senyum kita bisa menduga
karikatur itu menyiratkan kritik dan sindiran sekaligus ingin meluruskan sesuatu
yang dirasanya kurang baik. Padahal, kalau kita simak tulisan Dr KHO Gajahnata,
atau apa yang tersirat dari ungkapan KH Hasan Basri di harian ini : hakekat
puasa adalah upaya untuk “mengendalikan diri” termasuk mengendalikan diri dari
nafsu untuk “makan” yang kalau kelewat batas justru bisa menimbulkan
berbagai penyakit, baik penyakit fisik
seperti darah tinggi, diabetes sampai penyakit non-fisik seperti nafsu serakah,
tamak dan sebagainya. Melihat karikatur kita tersenyum, tergelitik dan lalu
sadar. Disinilah karikatur ikut menjalankan fungsi “Waskat” (Pengawasan
Melekat), atau paling tidak “Waskat” dalam artian “Wahana Senyum Kritik
Sehat”.
Itu tadi satu dua contoh karikatur yang
secara diam-diam telah melakukan pengawasan masyarakat. Tapi apa betul bisa
melaksanakan fungsi pengawasan ? Kalau tidak percaya, simaklah hakekat Pers
yang utamanya memberitakan fakta dan disisi lain, misalnya melalui Karikatur
(sebagai salah satu isi atau muatan pers) mampu untuk mengungkapkan opini :
sebagai “alat kontrol sosial yang
konstruktif”. Apa lagi jelas diyakini oleh masyarakat Pers Indonesia
adalah pers yang sehat, yang bebas, dan bertanggung jawab, yang menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi
rakyat dan melaksanakan kontrol sosial yang konstruktif.
Jdi bila dikatakan Karikatur ikut
menjalankan Waskat, sebenarnya fungsi pengawasan itu memang sudah melekat pada
karikatur. Tentu saja cara pengawasannya disesuaikan dengan gaya karikatur yang
yang khas : lucu, bercanda, berolok-olok, dan halus sehingga tidak menyakitkan.
Dengan guyon dan tampak seperti “main-main” sang karikatur mampu membuka mata
dan telinga pihak-fihak yang dianggap “menyimpang”. Dengan humornya yang segar, karikatur mampu
menciptakan keterbukaan antara berbagai fihak yang berkepentingan.
Dengan istilah populer : mampu menciptakan interaksi positif masyarakat, pers
dan pemerintah. Ambillah contoh karikatur yang dimuat Pers tentang : penebangan
hutan yang semena-mena, kecenderungan konsumerisme, masalah penggusuran,
proyek-proyek macet,dsb. Malah sampai pada karikatur perlu tidaknya pengadaan
bus kota atau karikatur “berbuka puasa” diatas. Karikatur-karikatur itu seolah
terpanggil memberikan pengawasan dan tentu saja dengan harapan agar fihak yang
terkena segera memperbaiki tanpa merasa sakit hati !
(Dari artikelku di SRIPO 6 Mei 1989)