Dijalan jalan protokol, atau ditempat
tempat strategis dalam kota ,
sering mata kita tertumbuk dengan iklan berupa papan reklame besar yang lain
dari yang lain. Ia tidak menawarkan produk
atau jasa, tapi yang ditawarkan adalah gagasan (ide). Ia tidak merayu khalayak—misalnya-- untuk membeli
produk mobil merek tertentu, tapi mengajak masyarakat waspada dan berpartisipasi dalam pemberantasan penyakit demam berdarah (DBD) yang banyak
menyerang warga masyarakat saat itu, atau mengajak agar tertib berlalu
lintas. Ia
bukan menawarkan merek rokok atau pulsa
hemat, tapi ajakan kepada masyakat untuk menjalin persatuan dan kesatuan
bangsa. Iklan seperti itu tidak menawarkan aneka produk makanan ringan, tapi
yang gagasan jangan membuang sampah sembarangan, atau bahkan seperti sekarang
mempromosikan Caleg agar dipilih masyarakat.
Kalau di televisi bisa
lebih hebat lagi, iklan bisa tampil layaknya sebuah tayangan film pendek.
Misalnya untuk mensosialisasikan tertib lalulintas, ditunjukkan bagaimana
mengemudi mobil dengan baik, sopirnya memakai sabuk pengaman, tidak menggunakan
HP sambil menyetir, dan hati2 melihat ada oraang menyeberang......kemudian
disambung gambaran perilaku buruk di jalan raya: adegan pengendera sepeda motor
yang ugal-ugalan yang berakhir dengan kecelakaan fatal, diteksnya tertulis.....”Sayangi
Nyawamu” serta tulisan besar besar dilayar
agar masyarakat berempati di jalan raya......... Atau iklan gagasan
untuk mengajak semua fihak untuk memberantas korupsi ditanah air.....
Dulu,
sekitar tahun 2007 di sebuah surat kabar lokal Sumsel, diantara iklan
produk dan jasa seperti iklan pengobatan tradisional, jasa layanan transport,
iklan pusat belanja dengan diskon, iklan
kursus, tampak sebuah iklan yang dari yang lain itu.. Apa ya iklannya ?
Ternyata iklan gagasan berupa pesan untuk melindungi
anak-anak kita dari tayangan tayangan seronok
di televisi…. Terutama dari program
tayangan malam yang tidak cocok dengan
anak-anak. Iklan display seperempat halaman itu
memperlihatkan dua orang anak
dengan ayah ibunya sedang menonton acara televisi. Bunyi pesan iklannya
: “Bantu anak anak anda dalam menentukan
tayangan yang tepat untuk mereka”. Untuk lebih meyakinkan khalayak di inset
iklan itu, ada foto Kak Seto, yang berujar : ”Orang tua wajib mengawasi
tayangan yang tepat bagi putra putrinya”.
Dengan makin berkembangnya
media elektronik radio atau televisi, bahkan media baru Internet iklan gagasan seperti
itu makin makin memperoleh kesempatan bersaing dengan
“saudara tua”nya yang lebih dulu eksis iklan-iklan komersial! Ada iklan “Hemat Energi”, ada iklan mengajak
konsumen menghemat pemakaian listrik. Ada
pula yang menawarkan gagasan “3M” dalam mengatasi bahaya si belang nyamuk demam
berdarah aedes aegypti. Oh, ya,
barangkali juga pembaca pernah melihat
tayangan mantan Menteri, sambil
menikmati daging ayam goreng meyakinkan
masyarakat agar jangan ragu mengkonsumsi daging ayam, asalkan diolah/ dimasak
dengan benar !!! Tidak usah takut dengan flu burung yang sedang merebak
diseantaro negeri , ini, begitulah kira kira
pesannya agar masyarakat tidak trauma. Bahkan sekarang ini dalam rangka PILEG / PILPRES para Calon pun ramai
beriklan memperkenalkan diri, menunjukkan program yg akan dilaksanakan untuk
mendapatkan dukungan masyarakat pemilih.
Iklan Pembangunan.
Iklan yang dicontohkan diatas,
biasa disebut iklan gagasan (Idea
Advertising), atau dalam konsep yang lebih luas, disebut Iklan Pembangunan (Development
Advertising). Masyarakat umum sering menyebutnya Iklan Layanan Masyarakat. Yang
dijual bukan barang dagangan , produk atau jasa. Tapi yang dijual, yang dipromosikan
berupa gagasan pembaharuan, pembangunan yang diperlukan masyarakat yang sedang
membangun. Bisa juga mempromosikan gagasan solusi untuk mengatasi berbagai
masalah seperti mengatasi wabah penyakit, banjir, penggundulan hutan, bahkan upaya memberantas KKN, Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, atau
pemberantasan korupsi.
Menurut Benyamin V.
Lozaree, pakar komunikasi Filipina yang dalam tahun tujuh puluhan mengelilingi
sembilan negara Asia meneliti periklanan
pembangunan, mendefinisikan Periklanan Pembangunan itu sebagai “… pemanfaatan prinsip, methode dan teknik periklanan
untuk membantu terwujudnya sasaran dan tujuan pembangunan nasional”. Jadi, bukan menjual barang dagangan, tapi menjual
gagasan pembangunan, yang menjajakan nilai-nilai pembaharuan yang positif kepada
masyarakat.
Kecenderungan positif
untuk beriklan pembangunan, beriklan layanan masyarakat, nampaknya mulai berkembang mulai saat itu.
Kabarnya tahun 1973, para pakar dan praktisi komunikasi, periklanan, Keluarga
Berencana & Kependudukan rame-rame mengadakan seminar di East West Centre Hawaii membahas peranan apa yang dapat
dimainkan oleh dunia periklanan dalam menunjang program KB yang mulai
digalakkan. Dalam pertemuan
ditunjukkanlah contoh-contoh pemanfaatan periklanan dalam program KB,
misalnya apa yang dilakukan di negara-negara Asia ,
di Afrika Barat. Lalu bermunculan iklan kampanye berbagai program pembangunan
dimana-mana.
Di Indonesia, Filipina , India ,
mulailah bermunculan iklan non-product ini. Yang paling menonjol pada waktu itu
iklan kampanye KB dan Kependudukan. Dimana-mana, di radio, di media cetak,
bahkan di papan reklame, poster, kita
melihat himbauan agar masyarakat berKB dengan teks besar besar :”Anak kami dua,
bagaimana dengan Anda….??” Di radio
terdengar kumandang jinggle (lagu) “Aku anak sehat tubuhku kuat, karena
ibuku rajin dan cermat, semasa aku bayi selalu diberi ASI dan imunisasi…”.
Cukup ampuh.
Iklan dengan daya
membujuk (persuasi)nya yang kuat, mampu menggelitik sasarannya. Dengan
memanfaatkan segi kejiwaan sasaran , ia mampu membujuk sasaran menuruti apa
yang diiklankan, dengan lihainya iklan mendekatkan pesan dengan ego sasaran dan memuaskan emosional
sasarannya, sehingga sasaran tertarik. Apalagi bila dibumbui dengan segudang
“janji” yang menggiurkan. Siapa yang tidak
tergiur dengan janji kecantikan sebuah parfum ? Atau kejantanan,
kekuatan dan kehebatan yang digambarkan iklan produk minuman sebuah merek
minuman energi ? Iklan gagasanpun meniru
kiat yang serupa dalam menarik dan mendapatkan partisipasi khalayak.
Sejak itu iklan
gagasan, iklan pembangunan makin marak, sejalan dengan kemajuan dunia
teknologi komunikasi dan kebutuhan perlunya mendapatkan partisipasi masyarakat. Iklan-iklan model ini seolah menyeru kita
untuk ikut berpartisipasi menyukseskan suatu program yang dibuat pemerintah untuk rakyatnya.. Iklan-iklan itu mengajak khayalak ikut serta,
karena memang untuk kebaikan masyarakat seluruhnya. Kecenderungan iklan model
baru ini, berlanjut terus sampai sekarang. Maka itu di kota
kota besar
hampir selalu ada iklan seperti itu ditempat-tempat
strategis. Di Palembang misalnya, beberapa
tahun lalu ada iklan “Visit Musi” untuk
mengkampanyekan program pariwisata air
Pemkot Kota. Ada lagi iklan luar ruang mempromosikan “Sumsel Lumbung Pangan dan
Energi” dengan gambar Gubernur serta Wakil Gubernur, ingin menyakinkan betapa
besarnya potensi provinsi ini sebagai penyedia pangan dan energi. Atau berupa billboard raksasa menunjukkan
kesiapan Pemda menjadi tuan rumah event olahraga internasioanal Islamic
Solidarity Games......dan beberapa hari lalu misalnya baliho iklan
mempromosikan “Palembang Emas 2018”, dsb.....
Dari mana biaya
beriklan Layanan Masyarakat ? Ada yang dibiayai sendiri, ada pula dengan
kerjasama dengan perusahaan besar. Banyak Iklan Layanan
Masyarakat dilaksanakan seperti itu, mungkin karena perlu dana besar jadi perlu sponsor. Masyarakat
periklanan menyebutnya sebagai Iklan
Bonceng (Free Ride Advertising),
Misalnya iklan “Tertib Lalu
Lintas”, diboncengkan pada iklan produk dari produsen tertentu pada satu display.
Dengan iklan bonceng semuanya untung.
Gagasan pembangunan jalan, yang
mensponsorinya pun untung.
Pernah di metropolis
Palembang, satu dari sekian banyak iklan semacam itu terpampang megah di menara
Jembatan AMPERA Reklame yang berbentuk
baliho raksasa ini mempromosikan
tekad pemerintah untuk membangun Sumsel
yang lebih baik. Memang ada yang memprotes, pemasangan iklan promosi itu katanya
kurang bagus dipasang
di Jembatan Monumental kebanggaan “Wong Palembang” itu. Protesnya soal
tempat pemasangan, bukan protes isi iklannya, karena jujur isi dan tujuan iklan itu bagus. Memang
didalam etika periklanan hanya mengatur isi
pesan iklan, rasanya tidak menjelimet sampai harus dipasang dimana atau ditempat mana. Memang rasanya kurang bagus kalau dipasang
sebarangan bergelantungan semerawut dibatang batang pohon atau ditiang listrik,
kan bisa merusak pemandangan. Jadi pada akhirnya, hati
nurani masyarakat periklananlah yang
menyadarkannya mana yang patut atau tidak patut diiklankan, termasuk
patut dimana memasangnya. Disamping hati nurani, selanjutnya mestilah juga
memperhatikan reaksi atau tanggapan masyarakat. Bukankah masyarakat
adalah sasaran terakhir dari periklanan yang harus diperhatikan juga kepentingannya
? Kalau mereka merasa risih mengapa tidak ? Contohnya iklan kosmetik bergambar
sosok wanita cantik dan seksi, yang pernah
dipajang hanya beberapa meter dari Masjid Agung,
setelah diprotes karena kurang etis memasangnya dekat tempat ibadah, ternyata
diperhatikan dan dicopot oleh pemiliknya.
Pokoknya, iklan gagasan
sama menariknya dengan iklan-iklan komersial. Prinsip persuasinya dalam
menggaet sasaran juga sama. Sama dengan iklan produk (iklan komersil), iklan
pembangunan (iklan non komersil)pun mempunyai kemampuan yang sama menanamkan
berbagai gagasan pembaharuan dan berbagai
kebijakan atau program
pembangunan. Kalau iklan kosmetik
merayu-rayu menjanjikan kecantikan pemakainya bak selebritis, iklan gagasan “Pemberantasan KKN” pun, kalau
dibuat dengan kreatif, yang mampu
menjanjikan pemerintahan yang bersih,
tentu menarik. Asal jangan janji gombal,
janji kosong yang membohongi khalayak. Sebab, kata David Ogilvy, ”promise is
the soul of an advertisement” (janji adalah nyawa periklanan). Tentu janji yang
wajar, yang masuk akal dan bertanggung-jawab sesuai dengan realita gagasan yang
ditawarkan. Maka itu, iklan gagasan -- walaupun berupa wujud gagasan – pada
dasarnya tetap menginformasikan program atau
pemikiran
yang konkrit, bukan program “diatas awang-awang”, yang sloganistis, yang cuma “jual kecap”, yang yang bombastis, yang sekedar mengumbar janji kosong belaka……, bukan, bukan itu !! (Masatif Ali, 25-03-2014, diulang 06-01-2015
)
)